Rabu, 04 November 2015

studi kritis hukum bermegah-megahan dengan masjid

SYARH DAN NAQD MELALUI METODE TAKHRIJ;
HADITS TENTANG “BERBANGGA-BANGGAAN DENGAN BANGUNAN MASJID SEBAGAI TANDA HARI KIAMAT”

Oleh:
Junaidi Abdillah

A.  Pengantar
Dewasa ini, di dunia umumnya dan di di Indonesia khususnya fenomena membangun masjid dengan model megah disertai hiasan yang menakjubkan telah menjadi trend yang tak terbantahkan. Terdapat sejumlah masjid di Indonesia telah dibangun dan dipandang terlalu “mewah” dan “megah”. Sebut saja masjid al-Mahri di Depok Jabar, masji Agung Jawa Tengah di Semarang, masjid at-Tin Jakarta, masjid Islamic Center di Samarinda, masjid Raya Makassar dan lain sebagainya.
Satu sisi ada kebanggaan bagi umat Muslim dengan dibangunnya masjid-masjid yang megah, sebagai simbol dan alat syi’ar Islam. Sebab, diyakini olen muslim, bahwa masjid merupakan tempat suci dan simbol perjuangan dakwah Islam. Tidak mengherankan jika Nabi, ketika hijrah langkah pertama yang dilakukan adalah membangun masjid.
Namun demikian, fenomena pergeseran paradigma dan fungsi masjid dapat dilihat dengan kasat mata kita. Masjid-masjid megah nan mewah tersebut, saat ini, tidak lebih sebagai tempat wisata dan hiburan bagi sebagian umat Islam. Masjid-masjid ini banyak dikunjungi pengunjung umat dari belahan nusantara. Jika dicermati masjid-masjid justru sepi dalam hal pemakmurannya, dan tidak lebih dari sekadar tempat wisata religius. Jika dianalisis lebih dalam, terutama dari apsek sosiologis, ada pergeseran paradigma masyarakat akan fungsi utama masjid. Tampak masjid-masjid megah sepi dari jama’ah. Kemegahan dan kebesaran masjid tidak berbanding lurus dengan kwantitas jama’ah terlebih aktivitas taklim di dalamnya.
Tidak mengherankan jika empat belas abad silam, Nabi –melalui sabdanya-- disinyalir pernah melarang “bermegah-megahan” dengan masjid. Bahkan hadits tentang “bermegah-megahan” dengan masjid erat kaitannya dan dilekatkan dengan salah satu dari tanda-tanda hari kiamat tiba. Pertanyaannya kemudian, benarkah keshahihan hadits ini jika ditinjau dari studi kritik sanad dan matan? Para ulama dan fuqaha pun berbeda pandangan terkait hukum aspek hukum yang terkandung dalam hadits tersebut. Oleh karena itu paper ini hendak mencari kualitas, dan istinbath al-ahkam dari hadits tersebut dengan metode takhrij.

B.  OTENTISITAS HADITS
1.    Teks Hadits
Pembahasan syarah  dan kritik (naqd) melalui metode  takhrij hadits dengan tema “bermegah-megahan dengan masjid” diawali dengan ditemukannya hadits itu dalam kitab takhrij maudu’i, yakni kitab Bulughul Maram karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.[1] Dari pelacakan tersebut ditemukan teks hadits tersebut yang berbunyi:
263- وعَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم :لَا تَقُومُ اَلسَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى اَلنَّاسُ فِي اَلْمَسَاجِدِ - أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيُّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة

Artinya: dari Anas berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “tidak akan tiba hari qiyamat (akhir) sehingga manusia dalam keadaan bermegah-megahan dengan masjid”. Diriwiyatkan oleh Imam Lima Kecuali al-Tirmidzi dan hadits ini dishahihkan oleh Ibn Huzaimah.

Sedangkan al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi tidak ditemukan hadits tentang bermegah-megahan dengan masjid. Namun demikian , hadits ini kemudian oleh Ibnu Huzaimah dipandang hadits yang shahih. Adapun rincian dalam kitab bulugh al-maram sebagaimana terkutip dalam catatan kaki tersebut terdapat keterangan berikut:
أبو داود (449) ، والنسائي (2/32) ، وابن ماجه (739) ، وأحمد (3/134 و 145 152 و230 و283) ، وابن خزيمة (1323) ..
Jadi, melalui petunjuk (dalalah) dari kitab bulughul maram tersebut maka hadits tersebut terdapat atau dapat ditemukan dalam dalam al-mashadir al-ashliyyah:
a)    Sunan Abu Dawud
b)   Sunan al-Nasa’i
c)    Sunan Ibnu Majah
d)   Musnad Ahmad Ibn Hambal, dan
e)    Shahih Ibnu Khuzaimah
Selanjutnya pelacakan teks menggunakan dalalah Berdasarkan penulusuran (dilalah/tautsiq) di dalam Kitab al-Jamius al-Shaghir[2] karya Jalal al-Din al-Suyuthi, dengan lafadz dan kata kunci awal  يتباهى. Dari lafadz tersebut maka penulis dapat menemukan hadits dengan bunyi:
8226- من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد[3]- ( ن ) عن أنس- ( صح )
9514- نهى أن يتباهى الناس في المساجد.- ( حب ) عن أنس- ( صح )[4]
9848- لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد- ( حم حب ) عن أنس- (صح )[5]

Bertolak dari dalalah kitab al-Jami’ al-Shaghir di atas maka dapat diketahui bahwa al-mashadir al-ashliyyah hadits tentang bermegah-megahan dengan masjid terdapat dalam kitab:
a)    Sunan al-Nasa’i
b)   Shahih Ibnu Hibban
c)    Musnad Ahmad Ibn Hanbal
Penelusuran selanjutnya kemudian dilkaukan penulis dengan menggunakan Kitab al-M'ujam al-Mufahrasالمعجم المفهرس [6] karya Arnold Weinsink melalui kata kunci  يتباهى (yatabaha). Dari sini kemudian penulis menemukan petunjuk:[7]
من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد.

ن مساجد 2, د صلاة 12, جه مساجد 2, ذى صلاة 23, حم 3, 124, 145, 156, 230, 283.

Berdasarkan dari dalalah al-Mu’jam al-Mufahras di atas, maka dapat ditemukan bahwa hadits tersebut terdapat dalam al-mashadir al-ashliyyah yaitu:
a)        Sunan al-Nasa’i
b)        Sunan Abu Dawud
c)        Sunan Ibnu Majah
d)       Sunan al-Daromi
e)        Musnad Ahmad Ibn Hanbal
Selanjutnya, berdasarkan  metode dalalah yang bersifat check and recheck dilakukan dengan menggunakan petunjuk al-Maktabah al-Syamilah versi 2014, dengan bersumber pada file al-Kutub al-Tis`ah.[8] Untuk menemukan tempat dari sebuah Hadits pada Mashadir al-Ashliyyah melalui program tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya melalui lafaz Hadits yang sudah diketahui, seperti lafaz يتباهى الناس dalam Hadits tersebut. Berikut ini langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menemukan tempat hadits tersebut pada al-mashadir al-ashliyyah Dilâlaḧ dan tawtsiqyang bersifat cek-ricek menggunakan CD al-Maktabah al-Syâmilah dengan proses:
1.      Setelah program Maktabah al-Syâmilah-nya dibuka, klik tabsearch (بحث), kemudian muncul jendela شاشة البحث   
2.      Selanjutnya pilih  بحث في النصوص dan memasukan kata يتباهى dan من أشراط pada kolom ابحث عن حميع هذه العبارة  
3.      Selanjutnya pilih متون الحديث dan centang/klik pilihan المجموعة كلها  
4.      Langkah selanjutnya adalah klik tab تنفيذ البحث.

Dari pelacakan dan penulusuran yang bersifat check dan recheck ini dapat ditemukan mashadir ashliyyah-nya:
(a)      Sunan Abi Dawud
(b)     Sunan Ibnu Majah
(c)      Shahih Ibnu Hibban
(d)     Shahih ibnu Khuzaimah
(e)      Mu’jam al-Awsath al-Thabrani
(f)      Musnad Ahmad ibn Hanbal
(g)     Sunan Kubra li al-Nasa’i
(h)     Sunan Kubra li al-Baihaqi
(i)       Musnad Bazzar
(j)       Sunan al-Daromi

2.    Rekapitulasi al-Mashadir al-Ashliyyah
NO.
DILALAH
AL-MASHADIR AL-ASHLIYYAH

1.
Takhrij Maudlu’i: Bulugh al-Maram
1.    Sunan Abu Dawud
2.    Sunan al-Nasa’i
3.    Sunan Ibnu Majah
4.    Musnad Ahmad Ibn Hanbal
5.    Shahih Ibnu Khuzaimah
2.
Al-Jami’ Al-Shaghir
1.    Sunan al-Nasa’i
2.    Shahih Ibnu Hibban
3.    Musnad Ahmad Ibn Hanbal
3.
Al-Mu’jam al-Mufahras
1.    Sunan al-Nasa’i
2.    Sunan Abu Dawud
3.    Sunan Ibnu Majah
4.    Sunan al-Daromi
5.    Musnad Ahmad Ibn Hanbal

4.
Maktabah Syamilah versi terbaru
1.    Sunan Abi Dawud
2.    Sunan Ibnu Majah
3.    Shahih Ibnu Hibban
4.    Shahih Ibnu Khuzaimah
5.    Mu’jam al-Awsathli al-Thabrani
6.    Musnad Ahmad ibn Hanbal
7.    Sunan al-Nasa’i
8.    Sunan li al-Baihaqi
9.    Musnad Bazzar
10.    Sunan al-Daromi


Dari tabel di atas, maka dapat di-shortir dengan sistem verfikisasi bahwa rekapitulasi keseluruhan hadits tentang bermegah-megahan dengan bangunan masjid, dapat ditemukan sumber-sumber aslinya (al-mashadir al-ashliyyah) yaitu: (1) Sunan Abu Dawud, (2) Sunan al-Nasa’i, (3) Sunan Ibnu Majah, (4) Musnad Ahmad ibn Hanbal, (5) Shahih Ibnu Khuzaimah, (6) Shahih Ibnu Hibban, (7) Mu’jam Austath al-Thabrani, (8) Sunan al-Baihaqi, (9) Musnad Bazzar dan (10) Sunan al-Daromi.

3.    Teks Hadits dari al-Mashadir al-Ashliyyah
1)   Dari kitab Sunan Abi Dawud tepatnya dalam bab bina’ al-masjid Juz 1 hal 171 tepatnya hadits ke-449 dengan bunyi:[9]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِىُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ .

2)   Dari kitab Sunan al-Nasa’i terdapat dalam kitab Sunan Kubra li al-Nasa’i Juz 1 halaman 255 tepatnya hadits nomor ke-768 dengan bunyi teks:[10]
أخبرنا سويد بن نصر قال أنبأ عبد الله يعني بن المبارك عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن انس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد .

3)   Dari kitab Sunan Ibnu Majah Juz I hal. 244 bab tasyidu  al-masajid, tepatnya hadits ke-739 dengan bunyi hadits:[11]
حدثنا عبد الله بن معاوية الجمحي . حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس بن مالك قال : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد )

4)   Dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal terdapat lima hadits dengan sanad yang berbeda:
Pertama, pada juz 3 halaman 134 hadits nomor ke-12402 dengan bunyi teks:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الصمد ثنا حماد يعني بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد[12]

Kedua, pada juz 3 halaman 145 hadits nomor ke-12495 dengan bunyi teks:
 حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا حَمَّادُ بن سَلَمَةَ عن أَيُّوبَ عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ

Ketiga, pada juz 3 halaman 152 hadits nomor ke-12559 dengan bunyi teks:
حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا عبد الصَّمَدِ وَعَفَّانُ قَالاَ ثنا حَمَّادٌ عن أَيُّوبَ عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسٍ ان رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِد.

Keempat, pada juz 3 halaman 230 hadits nomor ke-13428 dengan bunyi teks:
 حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا يُونُسُ وَحَسَنُ بن مُوسَى قَالاَ ثنا حَمَّادُ بن سَلَمَةَ عن أَيُّوبَ السختياني عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم قال * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِد.

Kelima, pada juz 3 halaman 283 hadits nomor ke-14052 dengan bunyi teks:
حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا عَفَّانُ ثنا حَمَّادُ بن سَلَمَةَ ثنا أَيُّوبُ عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ.
 

5)   Terdapat dalam Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Ada dua sanad hadits yaitu:
Pertama, pada juz II halaman 281 yang berbunyi:[13]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ ، حَدَّثَنَا الْمُؤَمَّلُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ، عَنْ أَيُّوبَ ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ : رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ بِالْمَسَاجِدِ.

Kedua, pada juz II halaman 281 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْخُزَاعِيُّ ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، وَأَيُّوبَ ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ.
6)   Dalam kitab Shahih Ibnu Hibban terdapat tiga sanad hadits:[14]
Pertama hadits no. 1613 yang berbunyi:
أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي قال : حدثنا أبو يحيى محمد بن عبد الرحيم قال : حدثنا عفان قال : أخبرنا حماد بن سلمة قال : حدثنا أيوب عن أبي قلابة :عن أنس بن مالك قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يتباهى الناس في المساجد .

Kedua, yaitu hadits nomor 1614 yang berbunyi:
أخبرنا أبو يعلى قال : حدثنا عبد الله بن معاوية الجمحي قال : حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[15]
Ketiga, hadits nomor 6760 yang berbunyi:
أخبرنا أبو يعلى قال : حدثنا عبد الله بن معاوية قال : حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة : عن أنس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[16]

7)   Dalam kitab Mu’jam al-Awsath al-Thabrani dalam Juz 8 halaman 222 tepatnya hadits nomor ke-8460 dengan bunyi teks:
حدثنا معاذ قال نا محمد بن عبد الله الخزاعي قال نا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس وقتادة عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[17]

8)   Terdapat dalam kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi Juz 2 halaman 439 tepatnya hadits nomor ke-4097dengan bunyi teks:
وأنبأ أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو طاهر المحمد آباذي ثنا أبو قلابة ثنا عفان ثنا حماد ثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد[18].


9)   Dalam kitab Musnad al-Bazzar, Juz 2 halaman 311 tepatnya hadits nomor ke-6778 dengan bunyi teks:
حَدَّثنا عبد الله بن معاوية الجمحي ، حَدَّثنا حماد بن سلمة , عن أيوب ، عَن أبي قلابة ، عَن أَنَسٍ ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد.

Kedua,hadits no. 7263 Juz 2 halaman 344:
حَدَّثنا مُحَمد بن المثنى ، حَدَّثنا مُحَمد بن عَبد الله الخزاعي ، حَدَّثنا حماد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس : أن النبي صلى الله عليه وسلم ، قَال : لاَ تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد.

10)    Terdapat dalam kitab Sunan Daromi Juz 1 halaman 383 tepatnya hadits nomor ke-1408 dengan bunyi teks:
أخبرنا عفان ثنا حماد بن سلمة ثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : )لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد(


4.    Unsur Hadits dan Diagram Rawi dan Sanad
a)      Sunan Abu Dawud: (1) Anas, (2) Qatadah, (3) Anas, (4) Abu Qilabah, (5) Ayyub, (6) Hammad ibn Salmah, (7) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i, dan (8) Abu Dawud.
b)      Sunan al-Nasa’i: (1) Anas, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad ibn Salmah, (5) Abdullah (Ibn al-Mubarak), (6) Suwaid ibn Nashr dan (7) al-Nasa’i.
c)       Sunan Ibnu Majah: (1) Anas ibn Malik,  (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad Ibn Salmah, (5) Abdullah Ibn Mu’awiyah al-Jamha dan (6) Ibnu Majah.




d)      Musnad Ahmad ibn Hanbal,
Ø  Hadits 1: (1) Anas, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad ibn Salmah, (5) ‘Abd al-Shamad, (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha, (7) Abdullah dan (8) Ahmad.
Ø  Hadits 2: (1) Anas ibn Malik, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad Ibn Salmah, (5) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha, (6) Abdullah dan (7) Ahmad.
Ø  Hadits 3: (1) Anas (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad (5) ‘Affan dan ‘Abdus Shomad (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha (7) Abdullah (8) Ahmad.
Ø  Hadits 4: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub al-Sikhtiyani (4) Hammad Ibn Salmah (5) Hasan Ibn Musa dan Yunus (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha (7) Abdullah (8) Ahmad.
Ø  Hadits 5: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (4) ‘Affan (5) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha (6) Abdulllah (7) Ahmad.

e)      Shahih Ibnu Khuzaimah
Ø  Hadits 1: Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5) al-Mu’ammal ibn Ismail (6) Muhammad ibn Rafi’ (7) Ibn Khuzaimah.
Ø  Hadits 2: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4)  Anas (5) Qatadah (6) Hammad (7) Muhammad ibn Abdillah al-Khuza’i (8) Muhammad ibn Yahya.
f)       Shahih Ibnu Hibban: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5) ‘Affan (6) Abu Yahya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahim (7) Muhammad ibn Ishaq al-Tsaqafi (8) Ibn Hibban.
g)      Mu’jam Austath al-Thabrani: (1) Anas (2) Qatadah dan Anas (3) Abu Qilabah (4) Ayyub (5) Hammad ibn Salmah (4) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i (6) Mu’adz (7) al-Thabrani.
h)     Sunan al-Baihaqi: (1) Anas (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad (5) ‘Affan (6) Abu Qilabah (7) Abu Thahir al-Muhammad Abadzi Abu Thahir al-Faqih (8) al-Baihaqi.
i)         Musnad Bazzar
Ø Hadits 1: (1) Anas (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5) Abdullah ibn Mu’awiyah al-Jamha (6) al-Bazzar.
Ø Hadits 2: (1) Anas (2) Qatadah (3) Hammad (4) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i (5) Muhammad Ibn al-Mutsanna (6) al-Bazzar.
j)        Sunan al-Daromi: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (4) ‘Affan (5) al-Daromi.

5.    Perbandingan Matan
Sementara matan hadis bermegah-megahan dengan masjiddapat dipetakan dalam tabel sebagai berikut:
Matan
Mashâdir al-Ashliyyaḧ
No
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
سنن  أبي داود
1
ان من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد
سنن النسائي
2
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
سنن ابن ماجه
3
-     لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
مسند أحمد
4
-     لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ
- لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِد
-     لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِد
-     لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ
-     إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ بِالْمَسَاجِدِ

صحيح ابن خزيمة
5
-     لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
-         نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يتباهى الناس في المساجد
صحيح ابن حبان
6
-     لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
-     لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
المعجم الأوسط للطبرانى
7
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
السنن الكبرى للبيهقي
8
-     لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
مسند البزار
9
-     لاَ تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
سنن الدارمى
10

Bertolak dari paparan tabel tentang matan yang bersumber pada sepuluh al-mashādir al-ashliyyah dengan delapan belas matan yang ada di atas, telah peneliti identifikasi ragam matan-matannya. Dan dari delapan belas matan di atas, maka hanya ada tiga ada matan yang agak berbeda pada permulaan hadits tersebut. Artinya, lima belas hadits semuanya diawali dengan redaksi “la taqumu” sedang dua lainnya diawali dengan redaksi “min asyrath al-sa’ah” dan yang satu terakhir diawali dengan redaksi “naha”. Namun demikian, kendati terjadi perbedaan secara redaksional di awal hadits, tidak mengurangi makna hadits atau substansi matan hadits tersebut. Artinya, semua hadits menyatakan bahwa bermewah-mewahan dengan masjid adalah indikasi hari akhir akan datang.
Untuk rangka perbandingan matan, perlu diketahui bahwa, dalam kajian matan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu lafdhzi, maknawi, tanaqudh dan ta`arudh. Lafdzi artinya tidak ada perbedaan baik lafadz maupun maknanya. Maknawi, artinya berbeda lafadznya, akan tetapi menunjukkan arti dan makna  yang sama. Tanaqudh, artinya berbeda lafadznya dan mengubah arti dan makna. Ta`arudh, artinya berbeda lafadznya dan berlawanan maknanya.
Berdasarkan pada perbandingan matan hadits di atas, maka hadits tentang bermegah-megahan atau berbangga-banggaan dengan bangunan masjid termasuk ke dalam hadits maknawi, maksudnya teks hadits tersebut kendati berbeda lafadz tetapi tetap menunjukkan makna yang sama.

6.    Daftar Rawi
Dalam rangka melacak keadaab para rawai, terutama terkait aspek lahir-wafat, rutbah jarh wa ta’dil dan thabaqaḧ rawi sanad dibuat daftar dengan menggunakan kitab Tahdzîb al-Kamal karya al-Mizziy, Tahdzîb al-Tahdzîb karya Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Mizan al-I’tidal karya al-Dzahabiy dan kitab lainnya yang dibutuhkan ketika tidak terdapat di dalam kitab yang telah disebutkan. Daftar rawi sanad hadis di atas adalah:
No
Rawi Sanad
L/W (H)
RJT
Thabaqât
L
W
J
T
Thdzb
S/T
1
Anas Ibn Malik

91 H

‘Adalah wa tautsiq
1
S
2.
Abu Qilabah

104 H

ثقة فاضل
3
T
3.
Qatadah ibn Di’amah
60
100H

Tsiqat-tsubut
4
T
الوسطى من التابعين

4
Ayyub
66
131 H

  ثقة ثبت حجة
5
T








5
Hammad ibn Salmah

167 H

ثقة صدوق
8
TT
6
Muhammad Ibn Abdullah al-Khuza’i

223 H

ثقة
9
TT
صغار أتباع التابعين
7
Abdullah Ibn al-Mubarak
118
181 H

ثقة ثبت فقيه عالم جواد مجاهد
8
TT
من الوسطى من أتباع التابعين
8
Abdullah Ibn Mu’awiyah al-Jamha

243 H

عند ابن حجر :  ثقة
10
TTT
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
9
‘Affan

219 H

عند ابن حجر :  ثقة ثبت
عند الذهبي :  الحافظ
10
TTT
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
10
‘Abd al-Shamad  


207 H

عند ابن حجر :  صدوق ، ثبت فى شعبة
عند الذهبي :  الحافظ ، حجة
9
TT
من صغار أتباع التابعين
11
al-Hasan ibn Musa

209 H

ثقة
9
TT
من صغار أتباع التابعين
12
Yunus

207 H

عند ابن حجر : صدوق ربما أخطأ
عند الذهبي :  الحافظ ، ثقة
9
TT
من صغار أتباع التابعين
13
Mu‘ammal ibn Ismail

206 H

عند ابن حجر :  صدوق سىء الحفظ
9
من صغار أتباع التابعين
14
Muhammad Ibn al-Mutsanna
167
252H

عند ابن حجر :  ثقة ثبت
عند الذهبي :  ثقة
10
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
15
Suwaid ibn Nashr
150
240H

عند ابن حجر :  ثقة
عند الذهبي :  ثقة
10
TTT
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
16
Mu’adz

200H

عند ابن حجر :  صدوق
عند الذهبي :  ثقة

10
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
16
Muhammad ibn Rafi’

245H

عند ابن حجر :  ثقة
عند الذهبي :  الحافظ
11
أوساط الآخذين عن تبع الأتباع

16.
Muhammad Ibn Yahya
172
258H

عند ابن حجر :  ثقة حافظ جليل
عند الذهبي :  الحافظ
11
أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
17.
Abu Ya’la
210
307H

الدَّارَقُطْنِيَّ:ثِقَةٌ، مَأْمُوْنٌ
11
TTT
18.

Abu Yahya Muhammad Ibn Abdurrahim
185
255H

عند ابن حجر :  ثقة حافظ
عند الذهبي :  الحافظ
11
TTTT
19.
Muhammad ibn Ishaq

270H

ابن حجر :  ثقة ثبت
عند الذهبي :  الحافظ
11
TTTT
20
Abu Thahir Muhammad Abadzi



Tsiqat


21.
Abu Thahir al-Faqih



Tsiqat


22.
Ibnu Majah
209
273H

عند ابن حجر :  أحد الأئمة ، حافظ
رتبته عند الذهبي :  الحافظ ، صاحب  السنن


23
Abu Dawud

275H

عند ابن حجر :  ثقة حافظ ، مصنف " السنن " و غيرها ، من كبار العلماء
رتبته عند الذهبي :  الحافظ ، صاحب السنن ، ثبت حجة إمام عامل
11

24
Ahmad Ibn Hanbal
164
241H

ابن حجر :  إمام ثقة حافظ فقيه حجة
عند الذهبي :  الإمام
10
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
25
Al-Daromi
181
255H

عند ابن حجر :  ثقة فاضل متقن ، الحافظ
عند الذهبي :  الحافظ
11
أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
26
Ibnu Khuzaimah
223
311H

Tsiqat, tsubut, hafizh
12
TTTT
27.
Al-Nasa’i
215
303H


12
TTTT
28.
Al-Baihaqy
384
458H

Tsiqat, hafidz
14
TTTTT
29.
Al-Bazzar






30.
Ibnu Hibban






31.
Al-Thabrani
260
360H

Hafidz, tsiqat
13
TTTT
1.      Diagram atau Silsilah Sanad
Dalam bentuk diagram, rawi sanad hadis di atas dapat dilihat pada gambar diagram atau silsilah sanad sebagaimana terlampir.

C.  KEHUJJAHAN HADITS
1.    Taqsim
Untuk mengetahui jenis hadits, apakah ia termasuk mutawatir atau ahad, marfu`, mauquf atau maqtu` dan mutasil atau munqati`, maka kita harus meneliti unsur haditsnya, yaitu rawi, matan dan sanad.
a. Rawi
الراوى من تلق الحديت واداه بصيغة من صيغ الاداء

Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits atau orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaian. Berdasarkan jumlahnya, rawi terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Rawi mutawatir artinya rawi tersebut harus indrawi (mahsus), tidak terkesan dusta dan minimal 4 orang tiap thabaqat, sedangkan ahad artinya rawi yang tidak memenuhi syarat-syarat rawi mutawatir.

b. Matan

Matan adalah materi berita yang diterima dari sanad yang terakhir. Dalam hal ini meliputi dua hal, yaitu bentuk dan idhafah. Bentuk meliputi aqwal, af'al, taqrir, sifat, keadaan, dan himahAqwal adalah perkataan yang pernah beliau ucapkan, yakni suatu bunyi yang di lisankan dan mempunyai makna, baik mengenai aqidah, hukum, ahlak, pendidikan dan lain-lain. Afal adalah apa yang beliau kerjakan yang merupakan penjelasan dan pengamalan praktisi terhadap peraturan syariat, praktik ibadah, muamalah dan lain-lain. Taqrir adalah kesan adanya ketetapan aturan dan ajaran dari keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah di lakukan atau di perkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Sifat adalah sifat-sifat yang di lukiskan oleh para sahabat dan ahli tarih seperti bentuk fisik Nabi. Keadaan adalah nama-nama dan tahun kelahiran yang ditetapkan ahli tarih dan para sahabat. Himah adalah rencana atau hasrat Nabi yang belum direalisasikan.
Idhofah bisa dipahami melalui marfu` (hadits tersebut bersandar sampai pada Nabi), mauquf (hadits yang bersandar pada sahabat Nabi), dan maqtu` (hadits yang bersandar pada tabi`in).

c. Sanad
السند هو سلسللة الرواة الذين نقلواالحديث واحدا عن الغير حتى يبلغوا الىقاءله
Sanad  adalah rangkaian mata rantai para rawi yang meriwayatkan hadits dari yang satu kepada yang lainnya hingga sampai kepada sumbernya. Jadi, sanad  merupakan  jalan yang dapat menghubungkan matan hadits kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad meliputi dua hal, yaitu ittisal (muttasil) dan keadaan. Definisi Hadits mutasil:
الحديث المتصل هو الذى سمعه كل واحد من رواته ممن فوقه حتى ينتهى الى منتهاه سواء كان مرفوعا او موقوفا

"Hadits muttasil adalah hadits yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits marfu, maqtu', dan  mauquf.

Sanad hadits muttasil bersambung antara rawi guru dan rawi murid (liqo`), sedangkan sanad keadaan dilihat dari keadaan  sanadnya  apakah termasuk mu`an`an (diriwayatkan memakai lafadz `an), muannan (diriwayatkan memakai ladaz anna),  `ali (diriwayatkan dengan sedikit jumlah rawi, akan tetapi sanadnya sampai pada Nabi), nazil (diriwayatkan dengan banyak rawi, sanadnya sampai pada Nabi), musalsal (Rawi-rawi saling mengikuti seorang demi seorang untuk mengenal sifat dan keadaan), atau mudabbaj (diriwayatkan oleh 2 orang yang timbal balik saling meriyatkan antara keduanya).
Berdasarkan   dari penjelasan dan kaidah-kaidah di atas,  maka   hadits terkait bermegah-megahan dengan masjid dapat diuraikan dengan penjelasan sebagai berikut:
 Pertama, unsur rawi. Dilihat dari jumlah rawi, maka hadits ini termasuk hadits ahad karena per-thabaqah-nya terdiri dari satu sampai pada dua rawi atau lebih. Pada thabaqah sahabat, hanya ada seorang sahabat yang meriwayatkan hadits ini yakni Anas` ibn Malik. Pada thabaqah tabi’in (T), hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi yaitu Abu Qilabah dan Qatadah. Sementara pada thabaqah ketiga (TT) hadits ini hanya ada seorang yaitu Ayyub dan selanjutnya pada tahbaqah keempat hanya ada seorang Hammad ibn Salmah. Sedangkan pada level atau thabaqah kelima diakui banyak perawi yang jumlahnya mencapai sembilan orang. Sedangkan yang terakhir (mudawwin), hadits ini diriwayatkan oleh sepuluh orang mudawwin.
Berdasarkan analisis kwantitatif rawi hadits, maka hadits ini termasuk hadits ahad dengan kategori hadits ahad gharib. Mengapa? Karena dalam setiap thabaqat sanadnya diriwayatkan oleh sedikit rawi. Secara bahasa hadits gharib berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Secara istilah para ulama hadits memberikan definisi bhawa hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan (thabaqat) maupun sanad. Dengan demikian, meskipun sebuah hadits memiliki rawi yang banyak di tingkatan yang lain namun hanya memiliki satu orang rawi di tingkat pertama atau kedua, maka hadits tersebut tetap tergolong hadits yang gharib. Selanjutnya, secara kualitatif, para ahli hadits membagi hadits āhad dalam tiga tingkat, yaitu hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dla’if. Uraian tentang ini akan dikupas pada analisis berikutnya pada bab tash-hih.
Kedua, unsur matan. Dikaji dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits ini dapat dikategorikan sebagai hadits aqwal yang bersifat firasah. Sedangkan matan apabila dilihat dari segi penisbahannya, hadits ini merupakan hadits marfu’ sebab langsung disandarkan pada Nabi SAW. Dengan demikian, hadits ini dari segi matan termasuk hadits marfu’ qauliy
Ketiga, unsur sanad. Dianalisis dari sisi ketersambungan sanad, hadits ini dikategorikan sebagai muttashil, karena sanad hadits ini bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah. Artinya, para rawi (rawi guru dan rawi murid) yang terdapat pada sanad hadits tersebut bertemu (liqa). Hal yang dijadikan ukuran adalah adanya pertemuan di antara guru dan murid. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari periode hidup mereka, daerah tempat tinggal, dan profesi mereka sebagai muhadditsin.
Sedangkan dilihat dari keadaan sanad (ahwal al-sanad), hadits ini termasuk jenis hadits mu’an’an karena rawi kedua (tabi’in) sampai rawi kelima (TTT) diriwayatkan dengan memakai atau menggunakan lafazh عَنْ (‘an atau dari). Selain itu, dilihat dari kwalitasnya, hadits ini disebut juga sebagai hadits Ali ini termasuk hadits ‘Ali. Hal ini bisa dilihat karena setiap perawi hadits dari setiap thabaqatnya hanya diriwayatkan sedikit rawi baik pada thabaqah S, T, TT, TTT, TTTT. Sebagaimana definisinya:

الإسناد العالي: هو الذي قَلَّ عدد رجاله بالنسبة إلى سند آخر يَردُ به ذلك الحديث بعدد أكثر[19]
Bahwa yang dimaksud dengan hadits ali yaitu hadits yang dimana sanadnya terdiri  jumlah perawinya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sanad yang lain. Dimana hadits dengan sanad yang jumlah perawinya sedikit tersebut akan tertolak dengan sanad yang sama jika jumlah perawinya lebih banyak.

2.      Hujjiyat al-Hadits: Tash-hih al-Hadits
Sebagai sumber hukum setelah Alquran hadits berfungsi sebagai hujjah (argumen hukum). Dengan kata lain, hujjah adalah kapasitas hadits sebagai pedoman pengamalan syara’ atau syariat, sebagai bayan al-Qur'an dan istinbat al-ahkam. Hadits mutawatir mempunyai kapasitas kehujjahan yang menghasilkan ilmu dharuri, yakni qath’iyul wurud dan qath’iyul dilalah. Sedangkan hadits ahad adalah dhanniyul wurud dan dhanniyul dilalalah. Untuk menentukan kualitas hadits, dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode tashhih dan i`tibar.[20]

a.    Tashhih
Sebagaimana diketahui bahwa definisi hadits shahih adalah:
الحديت الصحيح هو الحديت الذى اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون ساذا ولا معللا.[21]

Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang juga adil dan dhabith sampai sanad terakhir, dan hadits itu tidak janggal dan tidang cacat. Seorang mudawin menyeleksi dan menyaring hadits untuk keperluan tadwin hadits atau ia menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah dirayah.[22] Berdasarkan kaidah dirayah dan uraian diatas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1.        Rawi hadits di atas tergolong adil dan dhabith;
2.        Sanadnya bersambung kepada Nabi;
3.        Matannya bersambung kepada Nabi, tidak ada illat dan syadz.
Berdasarkan jumlah rawi, sanad dan matan, kualitas hadits tersebut termasuk ahad, sebab tiap thabaqahnya kurang dari empat perawi. Karena itu menghasilkan Ilmu yang bersifat dugaan yang mengandung propabilitas. Artinya, ia hanya bersifat zhanny al-wurud, zhanny al-dalalah, maqbul, dan shahih. Lebih jauh kalau di-tashih berdasarkan keadaan rawi sanad dan matan, maka hadits-hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih, yaitu rawinya adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber`illat (tidak cacat) dan tidak syadz (tidak janggal).[23]

b.   I’tibar
I'tibar adalah mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur kitab/diwan yang asli (mashadir al-Asliyah), kitab syarah atau kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits.[24] Oleh karena itu, i`tibar meliputi 3 hal, yaitu i`tibar diwan, i`tibar syarh dan i`tibar fan.  I`tibar diwan artinya menentukan kualitas hadits atas dasar petunjuk jenis kitab diwan. Kitab diwan menentukkan kualitas hadits. Menurut konfensi Muhadditsin bahwa hadits-hadits dalam kitab shahih,  maka haditsnya shahih pula. Hadits-hadits dalam kitab Sunan mungkin shahih, hasan, atau dhoif, akan tetapi tidak sampai pada matruk, mungkar atau maudhu`. Sedangkan kitab musnad Muwatho` Malik, mungkin shahih, hasan, dhoif bahkan dimungkinkan mengandung hadits maudhu`, matruk  atau mungkar.
Berdasarkan pada petunjuk kitab diwan (al-mashadir al-Asliyah), maka hadits tersebut termasuk dalam kategori hadits shahih-ahad. Dilihat dari mashadir al-asliyyah melalui para mudawwin hadits, maka hadits ini terdapat dan dapat ditemukan dalam (dua) kitab Shahih dan (lima) kitab Sunan, Dua musnad dan satu mu’jam. Walhasil, hadits ini secara kualitatif kuat dengan unsur-unsur keshahihan hadits.

c.    Tathbiq al-Hadits
Dikaji dari aspek tathbiq meliputi dua hal, yaitu hadits maqbul dan hadits ghoer maqbul. Hadits maqbul yang dapat diamalkan disebut hadits maqbul ma'mul bih. Hadits maqbul ma'mul bih meliputi muhkam, mukhtalif, rajih, dan nasikh
Dianalisis dari tathbiqnya, maka hadits tentang pelarangan berbangga-banggaan dengan bangunan megah dan mewah masjid masuk kategori hadits muhkam. Sebab, hadits ini tidak ada yang tanaqudl atai bertentangan dengan hadits yang sama terkait hal yang sama. Pembolehan tentang hadits hanya yang berkaitan dengan membersihkan dan memberi wangi-wangian masjid. Apa yang disebut hadits muhkam? Muhkam secara bahasa berarti yang dikokohkan atau yang diteguhkan. Secara istilah maka hadits muhkam adalah hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits lain yang mempengaruhi kualitasnya. Tegasnya, disebut hadits muhkam karena hadits ini dapat dijadikan sebagai hukum karena dapat diamalkan secara pasti, tanpa tercampur dengan hal-hal yang samar dan meragukan.

3.      KANDUNGAN HADITS
a.    Makna Mufradat
Kata اشراط dalam bentuk fi’il madli yang mashdarnya شرطا  maknanya adalah kejadian pada urusan yang besar. Sedangkan dalam bentuk isimnya الشرط yang jamaknya اشراط yang bermakna tanda, awal dari pada sesuatu. Kata اشراط dalam Alquran dapat ditemukan satu kali yaitu pada surat Muhammad ayat 18 dan itupun bergandengan dengan kata الساعة. Kata ini jika dilihat dari maknanya koheren ketika digandengkan dengan kata الساعة yang memiliki makna waktu, sebab kata اشراط menunjukan pada awal mula terjadinya sesuatu dari sebuah peristiwa yang kemudian disambut dengan kata الساعة yang aspek penggunaannya menunjukan waktu sudah dekat. Jadi dua kata tersebut ketika digandengakan maka maknanya menunjukan sebuah tanda bagi suatu peristiwa dalam waktu atau durasi yang sudah dekat. [25]
Dalam riwayat al-Bukhari misalnya, kata اشراط dapat juga kita temui dalam kitab al Ilmu, hanya disana objek yang menjadi tandanya berbeda dengan riwayat diatas. Dalam riwayat alBukhori disebutkan bahwa yang menjadi tanda-tanda suidah dekatnya hari qiamat adalah “diminumnya khomer, maraknya perjudian, nampaknya perzinahan..”[26]
Kata الساعة yang bentuk jama’nya سياع و ساعات dan bentuk tasghirnya سويعة memiliki beberapa makna; a). waktu yang menunjukan 60 menit, b). waktu sekarang (yang sedang dihadapi), c). alat yang digunakan untuk mengetahui waktu, seperti anak panah (diwaktu siang, dengan mengambil posisi bayang-bayang anak panah tersebut dari sinar matahari), d). hari qiyamat atau waktu terjadinya qiyamat. Seperti diungkap diatas kata ini jikadigunakan untuk menunjukan hari qiyamat, maka lebih khusus akan menunjuk pada kedekatan waktu pada prosesi qiyamat itu sendiri. Dalam Al-Quran sendiri kata ini digunakan untuk menunjukan hal tersebut diatas seperti tercantum dalam QS. Muhammad ayat 18 dan al-Nazi’at ayat 42.
Sedangkan kata يتباهى  adalah bentuk mudhari’ dari kata بهي بهاء yang bermakna baik atau cantik. Masih terdapat pecahan kata lainnya yang memiliki makna yang tidak sama pula seperti بهي  artinya “bahiyun” ابهي artinya baik/rupawan wajahnya, اتبهي به artinya berbangga diri, تباهوا  artinya saling berbangga diri. Sedikit sekali dalam hadits kita temukan kata ini.[27]
Sementara ditinjau dari aspek gramatikalnya, kata min asyrath al-sa’ah من أشراط  bentuk plural dari kata syarath yang berati tanda. Huruf min di sini adalah huruf jar yang berfungsi sebagai li tab’idl, menunjukkan arti sebagian. Keduanya berari tanda-tanda hari akhir (kiyamat). Secara gramatikal, jumalh kata ini kedudukannya sebagai khabar muqaddam. Kata-kata ini lalu diartikan dengan أَيْ عَلَامَات قُرْبهَا yaitu alamat atau tanda-tanda kedekatan akan datangnya hari akhir.[28]
Sedangkan kata yatabaha(يتباهى)  berarti saling bermegah-megahan dalam bahasa lain dimaknai yatafakhara’. Kata ini sepadan dengan يَتَفَاخَر  yang bermakna berbangga-banggaan atau jumawa yang dibarengi dengan perasaan sombong. Kedudukannya sebagai mubatada’ mu’akkhar yang berfungsi li al-ihtimam  untuk perhatian, bukan untuk li al-ikhtishash yang bermakna khusus.  al-Nasu  ( الناس ) manusia di sini adalah orang-orang muslim. Bi al-Masajid (في المساجد) bentuk jamak taksir dari masjid yang menunjukkan arti plural. Artinya dengan masjid. Menurut as-Suyuthi diilustrasikan dengan ungkapan فِي بِنَائِهَا atau dalam membangun masjid dalam bentuk bangunan.

b.   Syarah Hadits
Sebagaimana dikethaui bahwa secara etimologi kata-kata al-mubahah sepadan al-tasyyid wa al-tazyin yang bermakna meninggikan dan mengokohkan sebuah bangunan serta menghiasinya. Sementara secara terminologi yatabaha dalam hadits ini adalah gambaran orang-orang Islam saling menghiasi masjid, duduk-duduk di dalamnya, saling memamerkan (riya’) dan saling membanggakan (sum’ah) yang pada gilirannya kemudian lupa akan dzikir dengan Allah SWT. Justru sebaliknya, dengan masjid yang bermegah-megahan tersebut umat Islam dikhawatirkan lalai.[29] Sedanngkan maksud lain tentang “membanggakan” dalam dalam hadist ini adalah bangga dengan aspek bangunan (fisik) dan aspek non-fisik.[30] Sebab, tidak jarang dalam hati yang “membanggakan” tersebut muncul unsur seperti riya’ dan sum’ah.
Dari beberapa pandangan ulama hadits terkait makna yatabaha adalah adanya membanggakan baik dari aspek fisik yaitu aspek bangunan dengan perhiasan: lukisan dan hiasan emas. Demikian halnya dengan aspek non-fisik yaitu membanggakan dalam arti merasa megah dan banyak dari aspek jama’ahnya maupun lainnya.
Dilihat dalam perspektif budaya, sejatinya tradisi yatabaha (bermegah-hmegahan yang diringi dengan berbangga-banggaan) bukanlah budaya dan tradisi umat Islam. Islam adalah agama yang menekankan keserhanaan dengan misinya sebagai agama yang wasatha (moderat). Islam juga membenci sesuatu yang berlebihan dan ektrem (ghuluw) dalam beribadah dan lainnya. Tentunya kesederhanaan dan moderatisme ini berlaku dalam segala ranah kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi masjid sebagi pusat peradaban yang dibangun pada zaman nabi tidak mengalami perubahan walaupun sebenarnya khalifah  Islam pada waktu itu mempunyai kemampuan finansial untuk melakukannya sampai pada zaman Khalifah Usman memperindah masjid tersebut tetapi tidak sampai pada zukhruf. Melainkan budaya dari agama Yahudi dan Nasrani di mana mereka sangat erat dengan budaya memegahkan dan menghias bangunan tempat ibadah mereka. Dengan demikian, sebagai ciri pembeda antara muslim dan agama lain kemudian memberikan “warning” agar tidak melakukan hal yang sama dengan perilaku Yahudi dan Nasrani.[31]
Sebagaimana diketahui, bahwa di antara ibadah yang sangat mulia dan agung kepada Allah SWT adalah memakmurkan masjid Allah. Memakmurkan masjid dengan cara mengisinya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya SAW. Bentuk memakmurkan masjid bisa pemakmuran secara lahir maupun batin. Secara batin, yaitu memakmurkan masjid dengan shalat jama’ah, membaca dan memahami Al-quran, berdzikir, majlis ta’lim yakni belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu agama, kajian-kajian keilmuan dan berbagai ibadah lainnya yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Sementara memakmurkan masjid secara lahiriah, adalah menjaga fisik dan bangunan masjid, sehingga terhindar dari kotoran dan gangguan lainnya. Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah bahwa baginda Rasulullah SAW pernah memerintahkan manusia untuk mendirikan bangunan masjid di perkampungan, kemudian memerintahkan untuk dibersihkan dan diberi wangi-wangian.[32]
Apabila dicermati lebih dalam, hadits ini sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk selalu memakmurkan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat aktivitas keilmuan. Menurut M.Hashbi Ashidieqi, bahwasanya hadits ini adalah dalil yang dipakai oleh ulama islam awal untuk mengharamkan pembangunan masjid dengan bermegah-megahan, dan adapun dengan diamnya para ulama Islam pada waktu itu terhadap tindakan pembangunan masjid dengan bermegah-megahan, terutama pada waktu renovasi masjid Nabawi adalah dikarenakan, semata-mata mereka takut terhadap ancaman  oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu.
Namun Menurut hemat penulis, hadits di atas tidaklah sampai mengindikasikan terhadap haramnya pembangunan masjid dengan besar dan megah. Hadits di atas adalah sebagai anjuran bagi kita untuk menggunakan skala prioritas dalam hal pembangunan masjid. Sesungguhnya masjid adalah tempat beribadah dan menuntut ilmu, seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah dan zaman awal Islam dahulu, walaupun bangunan masjid pada dahulu kala sangatlah sederhana, namun aktivitas di dalamnya sangatlah padat, dari mulai shalat berjamaah dampai dengan ajang untuk aktivitas ibadah dan transformasi ilmu.
Pendek kata, dapat dikatakan apa manfaatnya apabila masjid yang megah namun tidak ada orang yang beraktivits di dalamnya. Lihatlah masjid-masjid yang ada disekitar kita, sudahkah kita meramaikannya. Masjid yang megah bukanlah sesuatu yang menjadi simbol kemakmuran penduduknya, namun masjid yang sarat dengan nuansa religius adalah masjid yang dapat menjadi oase di padang tandus kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan polusi modernisasi.

c.    Munasabah dan Asbab al-Wurud
Tidak semua hadits mempunyai atau memiliki sebab-sebab khusus yang melatarbelakanginya. Termasuk hadits bermegah-megahan dengan masjid dengan membanggakannya juga tidak terdapat sebab khusus yang melatarbelakanginya hadits ini muncul. Namun demikian, dengan kajian tematik terkait bermegah-megahan dengan masjid, Nabi ingin mengukuhkan bahwa kehadiran Islam merupakan agama penengah antara Yahudi dan Nasrani. Inilah agama wasatha yang merupakan karakter utama Islam. Jelas, perilaku sombong, berhias, bermegah-megahan dengan bangunan, termasuk tempat ibadah merupakan ciri khas umat Nasrani dan Yahudi.
Terkait sebab-sebab lahirnya hadits pelarangan bermegah-megahan dengan masjid terdapat sebuah kisah yang dilukiskan dalam Kitab Nail al-Authar dijelaskan :
وروى في شرح السنة بسنده عن أبي قلابة قال : غدونا مع أنس بن مالك إلى الزاوية فحضرت صلاة الصبح فمررنا بمسجد فقال أنس : أي مسجد هذا قالوا : مسجد أحدث الآن فقال أنس : ( إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : سيأتي على الناس زمان يتباهون في المساجد ثم لا يعمرونها إلا قليلا ) [[33]
Bahwa pada suatu pagi menjelang subuh, para sahabat berjalan dengan Ana Ibn Malik menuju sudut desa untuk menunaikan shalat shubuh dan di tengah jalan kita melewati sebuah masjid, maka Anas berkata: masjid apa ini? Para sahabat berkata: ini masjid yang paling baru sekarang. Sontak Anas menjawab dengan ungkapan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “akan datang sebuah masa di mana manusia berbangga-bangga an dengan masjid namun mereka tidak memakmurkannya, kecuali sedikit di antara mereka”. Hadits ini tampak mempunyai korelasi kuat dengan ucapan sebab-sebab turunnya hadits ini.
Ditelusuri lebih dalam, sejatinya Allah SWT menciptakan manusia di bumi sebagai khalifah hanyalah untuk beribadah (liya’buduni). Secara tipologis, ibadah dibagi menjadi dua; ibadah yang  bersifat mahdlah dan ghairu mahdlah. Kendati semua ulama sepakat bahwa segala aktivitas yang berkaitan dengan niat yang baik dan ikhlas adalah ibadah. Dalam hal melaksanakan ibadah, Islam mensyaratkan tempat yang bernama masjid. Masjid dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam memainkan peran vital yang tak bisa dinafikan. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat beribadah kepada Allah, melainkan sebagai pusat transformasi keilmuan dan basis penyebaran agama Islam (dakwah). Tidak mengherankan jika pada dalam setiap aktivitas Rasul, masjid menjadi pusat perdaban yang tak bisa dipungkiri. Ini dibuktikan dengan Nabi ketika hijrah ke Madinah yang pertama kali dibangun adalah masjid, bukan yang lainnya. Masjid baik pada era pertumbuhan awal Islam dan proses penyebaran dakwah Islam memainkan peran penting. Pendek kata, keberadaan masjid dalam Islam diakui merupakan entitas yang urgen dan penting.
Hadits tentang pelarangan berbangga-banggaan dengan kemewahan bangunan dan hiasan masjid merupakan hadits yang mempunyai korelasi kuat dan kesesuaian dengan perintah memakmurkan masjid. Islam tidak menyukai, apabila masjid dibangun dengan megah, namun sepi dan kosong dari aktivitas ibadah. Masjid hanya dijadikan sebagai hiasan dan tempat wisata yang jauh dari ketaatan kepada Allah. Masjid hanya berfungsi sebagai tempat ziarah yang tak berfungsi apapun dan tak lebih dari sekedar hiasan. Maka dari itu memakmurkan masjid merupakan ibadah yang dijamin kemuliaan dan pahala serta balasan yang besar di sisi Allah. Sebagaimana firman Allah: dalam QS al-Taubah Ayat 18 tentang Para Pemakmur Masjid sebagai berikut:
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَ‌ۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ
 Artinya: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-Taubah: 18)
Dari ayat ini kita paham bahwa betapa besar dan mulia orang yang memakmurkan masjid di mata Allah SWT. Tidak mengherankan jika dalam hadits lain Allah SWT mempersaksikan keimanan para pemakmur masjid, sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka persaksikanlah dia dengan keimanan.” (HR. Ahmad).
Hadits senada diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Mawardi, dan al-Hakim di dalam Mustadraknya. al-Hafid Abu Bakar al-Bazar meriwayatkan dari Tsabit bin Anas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya para pemakmur masjid itu hanyalah ahli Allah.” (HR. Tirmidzi)
Namun sebaliknya, Allah dan rasul-Nya sangat tidak menyukai apabila masjid dibangun bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Artinya, masjid yang dibangun dengan biaya yang tinggi, apalagi diperoleh dengan uang rakyat dan hasil pajak, namun masjid hanyalah berfungsi sebagai taman hiasan, tempat wisata dan sepi dari jama’ah shalat, kosong dari kajian ilmiah dan yang lainnya. hal ini lah yang paling tidak disukai oleh Islam. Hadits larangan bermegah-megahan dengan masjid berkorelasi kuat dengan hadits lainnya:
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ اَلْمَسَاجِدِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ.

Artinya: “dari Ibn Abbas RA berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: tidak saya diperintah untuk memperkokoh masjid” (HR Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)

Ketika menafsiri hadits ini, para ulama selalu merujuk pada perilaku yang ketika membangun masjid ibarat membentuk seperti ‘ary-nya Musa. Para sahabat kemudian bertanya, apa itu ‘arsy Musa? Nabi menjawab: yakni ketika saya mengangkat tangan saya telah sampai yaitu atap masjid.[34] Artinya bahwa dalam membangun masjid, Nabi mengedepankan keserdahanaan, kebersihan namun sangat tidak menyukai dengan kemegahan dan ketinggian yang sepi dari jama’ah dan aktivitas keagamaan lainnya. Hadits akan pelarangan bermegah-megahan dengan masjid, juga berkaitan erat dengan sabda Nabi yang berbunyi:
ولفظ ابن خزيمة: (يأتي على الناس زمان يتباهون بالمساجد ثم لا يعمرونها إلا قليلا).[35]

Artinya: “Dan lafadz Ibnu Huzaimah RA: akan datang sebuah masa di mana manusia saling berbangga-banggan dengan masjid namun tidak memakmurkannya, kecuali sedikit di antara mereka.

Berkaitan dengan hadis di atas dan untuk menguatkannya, Ibnu Abbas ra berkata, “ Sungguh, umat ini akan menghiasi masjid masjid sebagaimana orang orang Yahudi dan Nasrani menghiasi tempat tempat ibadah dan gereja gereja mereka. Orang yang memerhatikan –masa sekarang- seluruh penjuru dunia Islam dan alat alat transportasi, akan melihat mereka berbangga bangga seperti ini, menghiasi masjid, dan sombong dalam mendirikan masjid. Manusia membaca hadis ini dan mengetahuinya bahwa menghiasi masjid termasuk salah satu tanda kiamat. Namun, mereka tetap melakukannya, seolah olah mereka digiring untuk melaksanakan ketaatan dan pembenaran terhadap hadis Rasulullah SAW.
Ibnu ‘Abbas menambahkan, dalam kitab Jami’ al-Shaghir karya Jaluddin al-Suyuthi, disebutkan dan dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mempercantik masjid masjid kalian dan menghiasi mushaf mushaf kalian, kehancuranlah atas kalian.” Mengapa? Hal ini disebabkan Allah SWT melihat orang-orang yang memakmurkan Masjid dengan hati dan iman mereka. Allah SWT menghendaki para hamba-Nya berhias dengan iman dan mempercantik diri dengan takwa. Sebab, apabila masjid masjid telah dihiasi, yang tersisa hanyalah dinding-dinding dan perhiasannya. Padahal, semua itu akan musnah ketika terjadi kiamat nanti, sedangkan hati dan iman akan kekal dan langgeng.

2.    Istinbath al-Ahkam dan Hikmah
Manusia dituntut untuk beribadah semata-mata ikhlas karena Allah dan hanya mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Dengan segala potensi baik buruknya manusia telah diwanti-wanti supaya tetap berpegang teguh kepada dua sumber hidup yaitu Alquran dan Sunnah. Segala problematika kehidupan telah ada jawabannya dalam kedua sumber tersebut. Baik probelam akidah, ibadah maupun mu’amalah. Manusia tugasnya tinggal menggali dalam kedua sumber tersebut.
Jika ditelisik lebih dalam, kandungan hadits tentang bermegah-megahan dengan masjid, hadits ini sarat dengan membangun masjid secara fisik. Jika berbicara membangun fisik, di dalamnya mencakup unsur-unsur meninggikan, mengokohkan dan menghias dan lain-lainnya. Oleh para ahli fiqh, hadits ini dimasukkan dalam bab naqsy al-masajid. Dalam kitab Subul al-Salam diuraikan terkait pandangan ulama tentang bermegah-megahan dengan masjid :
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ نَقْشِ الْمَسْجِدِ : فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ - كَرَاهِيَتَهُ ، لِحَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال : لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ جَوَازَهُ ، وَهُوَ رَأْيٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ لاِبْنِ وَهْبٍ وَابْنِ نَافِعٍ ، وَبَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ إِذَا كَانَ بِالشَّيْءِ الْخَفِيفِ .وَاحْتَجُّوا بِمَا رُوِيَ مِنْ أَنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ زَادَ فِي الْمَسْجِدِ ( النَّبَوِيِّ ) زِيَادَةً كَثِيرَةً ، وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ ، وَجَعَل عَمَدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ ، وَسَقْفَهُ بِالسَّاجِ.[36]

Bersadasarkan kutipan tersebut dipahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang meninggikan masjid. Golongan dari mayoritas fuqaha’ yang diwakili dari pengikut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali hukumnya adalah makruh (tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya) dan tidak sampai pada derajat haram. Sementara golongan Hanafiyyah membolehkan meninggikan bagunan masjid dengan berargumentasi pada tindakan Khalifah ‘Utsman yang membangun masjid Nabawi dengan tiang-tiang dan tembok yang kuat dan menjulang. Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam dijelaskan:
الْحَدِيثُ مِنْ أَعْلَامِ النُّبُوَّةِ وَقَوْلُهُ : " لَا تَقُومُ السَّاعَةُ " قَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ مِنْ أَشْرَاطِهَا ، وَالتَّبَاهِي إمَّا بِالْقَوْلِ كَمَا عَرَفْت أَوْ بِالْفِعْلِ كَأَنْ يُبَالِغَ كُلُّ وَاحِدٍ فِي تَزْيِينِ مَسْجِدِهِ وَرَفْعِ بِنَائِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .وَفِيهِ دَلَالَةٌ مُفْهِمَةٌ بِكَرَاهَةِ ذَلِكَ وَأَنَّهُ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ تَشْيِيدَ الْمَسَاجِدِ وَلَا عِمَارَتَهَا إلَّا بِالطَّاعَةِ

Bahwa hadits ini merupakan hadits futuristik yang  bersifat informatif dan predikitif yang mengajarkan kepada umatnya agar tidak sombong dan jumawa dengan tingginya, megahnya bangunan masjid. Dilihat dari dalalah pemahaman hadits, bahwa hukumnya adalah makruh (karahiyyah), sebab Allah tidak menyukai membangun masjid dengan megah tanpa diiringi dengan pemakmuran masjid tersebut.
Terkait pembangunan masjid yang termaktub dalam hadits tersebut, penulis menyimpulkan bahwa bukanlah sebuah kesalahan dalam perbuatan membangun sebuah masjid, melainkan motif (‘illat) yang melatarbelakangi adalah pembangunan masjid itu sendiri. Dalam Islam, perbuatan yang bersifat mu’amalah pada dasarnya boleh-boleh saja, terlebih dengan tujuan untuk memotivasi ibadah dan meningkatkannya, maka akan naik derajatnya menjadi ibadah termasuk memfasilitasi orang beribadah dengan nyaman kepada Allah swt. Karena dalam masalah memebangun masjid yang menjadi tinjauan bukan hanya sekedar membangun masjid secara fisik, melainkan juga secara maknawi yakni memakmurkan masjid dengan mendirikan dengan ibadah-ibadah dan kajian keilmuan dan sebagainya. Selain itu, hadits ini bisa saja dalam tekstual tersurat makna laranagan memiliki motivasi selain karena Allah, namun secara umum dapat dipetik asumsi juga termasuk larangan pada setiap amal.
Dalam analisis penulis, ucapan Nabi SAW`di atas bukan bermaksud untuk menakut-nakuti manusia atau bahkan membuat manusia menjadi hamba berpaham fatalistis dengan ungkapan telah dekatnya atau tibanya hari akhir, melainkan sebagai sebuah stimulus dan wanti-wanti agar manusia (muslim) sadar tentang eksistensi, tujuan, orientasi dan yang paling penting pertanggungan jawab mereka kelak di akhirat. Sungguh terdapat beberapa riwayat yang menyatakan sudah dekatnya waktu qiyamat namun semuanya diarahkan kepada aspek energisitas muslimin agar tetap beramal sesuai ilmu agama.
Tidak hanya satu tema rasul mengungkapkan tanda-tanda sudah dekatnya hari kiamat, namun beragam varian. Semuanya disesuaikan berdasarkan proporsi yang dianggap urgen dalam aspek keberlangsungan kemaslahatan hidup dan kehidupan manusia. Seperti masalah ilmu (sebagai dasar dalam beramal), perjudian dan minuman keras (simbol terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi), perzinahan (simbol marginalisasi dan penindasan perempuan) dan lain sebagainya.

d.   Musykilat dan Tafhim al-Hadits
Setiap masjid baik itu masjid jami, mushola, langgar atau surau adalah milik Allah. Masjid adalah tempat hamba-hambanya yang beriman ruku dan sujud, bermunajat dan berdzikir kepada-Nya. Setiap orang yang beriman berhak mempergunakannya dimanapun dia berada dan memang hanya orang-orang beriman sajalah yang memakmurkan (meramaikan) masjid, sedangkan orang-orang musyrik mereka tidak pantas untuk memasuki masjid-masjid Allah. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Bahwasannya yang meramaikan (memakmurkan) masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah. Maka merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh petunjuk”. (QS. At-Taubah : 18)

Jelas sudah bagi kita bahwa fungsi masjid adalah untuk tempat beribadah kepada Allah, jadi tidak pantas jika kita melakukan kegiatan duniawi di dalam masjid. Kegiatan duniawi yang hukumnya “mubah” saja dilarang apalagi yang sifatnya tercela, seperti bercengkrama dengan kata-kata bathil, membuat kegaduhan dan mengotori masjid, maka itu sangat dilarang bahkan termasuk dosa. Oleh karena itu janganlah kita termasuk orang-orang sepeerti itu. Jika ada orang yang berbuat demikian, ingatkanlah mereka. Seandainya mereka tidak menghiraukan, jauhilah dan jangan bergabung dengan mereka karena Allah tidak membutuhkan orang-orang seperti itu. Jika anda belum yakin denga keterangan di atas silahkan renungkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wassalam :
“Akan datang kepada manusia suatu zaman yang mana mereka suka duduk-duduk berkeliling dalam masjid, tetapi tiada yang menjadi perhatian dan cita-cita mereka itu melainkan keduniaan. Allah samasekali tidak memerlukan mereka. Oleh sebab itu janganlah kamu semua ikut duduk-duduk bersama mereka ! “ (HR. Ibnu Hibban)

Yang termasuk dilarang oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wassalam adalah adanya patung dan gambar di dalam masjid walaupun berupa ulama, wali ataupun orang-orang sholeh lainnya. Semua itu dilarang melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radiyallahu’anha bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah radiyallahu’anha menyebut dua gereja yang dilihat oleh keduanya di Habasyah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar. Keduanya kemudian menceritakan hal itu kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wassalam, mendengar hal itu beliau Shallallahu ‘alayhi wassalam bersabda :
“Sesunggunya mereka, jika ada seorang tokoh shalih diantara mereka yang meninggal dunia, mereka membangun masjid (rumah ibadah) di atas kuburannya serta membuat patung orang itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari Kiamat” (HR. Syaikhon)

Masjid merupakan rumah Allah dan merupakan tempat terbaik di muka bumi ini. Salah satu cirri orang beriman adalah hatinya selalu terkait terhadap masjid, memakmurkan masjid, memelihara kesucian, memberi wewangian dan menjauhkannya dari hal-hal yang dibenci Allah merupakan perintah Rasulullah SAW. Pertanyaannya Bagaimana adab dan sikap kita terhadap masjid ?
Membangun sebuah masjid sekecil apapun bangunannya jelas suatu kebaikan di sisi Allah dan berhak mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan keikhlasan orang yang membangunnya. Dari Abu Dzar diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, meskipun hanya seukuran kandang burung, maka Allah akan membangun baginya sebuah rumah di Syurga” (HR. Al-Bazzar)

Mungkin karena alasan hadits inilah sebagian orang berlomba-lomba membangun masjid, bahkan tak segan-segan jika mereka kekurangan dana, mereka meminta-minta bantuan kepada kaum muslimin di jalan-jalan, kendaraan, took-toko, pasar-pasar bahkan terminal. Niat mereka itu baik, hanya caranya kurang baik. Meminta bantuan ke tempat-tempat seperti itu hanya akan mencoreng umat islam sendiri. Perlu diingat oleh kita semua, kita tidak diperintah untuk bermegah-megahan dalam membangun masjid, tetapi bangunlah masjid sesuai dengan kemampuan dan keadaan masyarakat sekitarnya. Yang penting kita harus memakmurkan dan merawat masjid tersebut.
Sungguh aneh zaman sekarang, kita melihat dimana-mana banyak sekali masjid besar, tetapi jamaahnya sangat sedikit. Bahkan pada waktu shubuh jamaahnya bias dihitung denga jari tangan. Sungguh kita hidup di zaman manusia yang senantiasa membanggakan bangunan masjid, tetapi ketika diseru untuk memakmurkannya mereka enggan dan berdalih dengan berbagai alasan, sungguh tepat apa yang dikatakan Rasulullah SAW:
“Akan datang suatu zaman dimana manusia saling berbangga dengan bangunan masjid, kemudian mereka tidak mau memakmurkannya, kecuali sedikit dari mereka”. (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah)

Memang keadaan ini merupakan salah satu tanda kiamat yang sudah merata dimasyarakat. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits marfu’ dari Anas radiyallahu’anhum:
“Tidak akan terjadi hari kiamat hungga manusia saling berbangga dengan bangunan masjid mereka” (HR. Ahmad, abu Daud, Nasa’I dan Ibnu Khuzaimah)
Kita perhatikan banyak sekali orang-orang yang menghias masjid secara berlebih-lebihan yang tujuannya tiada lain hanyalah untuk keindahan, pamer dan membanggakan diri, keluarga, kelompok dan kaumnya. Sudah begini parahkah kerusakan amal-amal masyarakat kita ?.
Sebuah hadits marfu’ menggambarkan keadaan kita sekarang ini. Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Aulia, “Jika amal kebaikan suatu kaum telah rusak maka mulailah mereka menghias masjid-masjid mereka”. Hadits ini bukan berarti masjid itu harus kumuh dan bangunannya harus seperti bangunan masjid zaman dahulu. Bukan demikian maksudnya, tetapi masjid boleh disesuaikan dengan keadaan bangunan masyarakat sekitarnya dan boleh diperluas jika jamaahnya bertambah banyak. Yang perlu diingat disini adalah janganlah kita menghias masjid kemudian saling membanggakan. Kemudian melupakan kewajiban kita untuk memakmurkan masjid tersebut. Jangan sampai kita termasuk kaum yang rusak amalnya, bersemangat sekali membangun dan menghias masjid, tetapi enggan untuk beribadah di dalamnya.


4.      PENUTUP



[1]Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram fi Adillat al-Ahkam, Bab al-Masajid (Beirut: Dar al-Ihya Al- Ulum, 1991), cet. ke-1, Juz , hal. 87.
[2] Rumus al-Suyuthiy: kha` (خ) al-Bukhariy, mim (م) Muslim, qaf (ق) keduanya (Bukhariy-Muslim), dal (د) Abi Dawud, ta` (ت) al-Tirmidziy, nun (ن) al-Nasa`iy, ha (ه) Ibn Majah, empat (٤) mereka berempat (Abu Dawud, al-Tirmidziy, al-Nasa`iy dan Ibn Majah), tiga (٣) mereka kecuali Ibn Majah, ha mim (حم) Musnad Ahmad, ‘ayn mim (عم) ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id, kaf (ك) al-Hakim dalam al-Mustadrak, kha dal (خد) al-Bukhariy dalam al-Adab, ta` kha` (تخ) al-Bukhariy dalam Tarikh, ha` ba` (حب) Ibn Hibban dalam Shahîh, tha` ba` (طب) al-Thabraniy dalam al-Kabir, tha` sin (طس) al-Thabraniy dalam al-Awsath, tha` shad (طص) al-Thabraniy dalam al-Shaghîr, shad (ص) Sa’id bin Manshur dalam Sunan, syin (ش) Ibn Abi Syaybah, ‘ayn ba` (عب) ‘Abd al-Razzaq dalam al-Jâmi', ‘ayn (ع) Abi Ya’la dalam Musnad, qaf tha` (قت) al-Daruquthniy, fa` ra` (فر) al-Daylamiy dalam Musnad al-Firdaws, ha` lam (حل) Abi Na’im dalam al-Hulyah, ha` ba (هب) al-Bayhaqiy dalam Syu’b al-Iman, ha` qaf (هق) al-Bayhaqiy dalam al-Sunan, ‘ayn dal (عد) Ibn ‘Adiy dalam al-Kamil, ‘ayn qaf (عق) al-‘Aqiliy dalam al-Dhu’afâ`, kha` tha (خظ) al-Khathib. Muhammad ‘Abd al-Ra`uf al-Munawiy, Faydh al-Qadir Syarh al-Jâmi' al-Shaghîr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), Cet. Ke-2, Juz 1, h. 24-29.
[3] al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiiyah, 1998) cetk. III, Juz II, hal. 298.
[4] Ibid. hal. 376.
[5] Ibid., hal. 394.
[6]A,J. Wensink, dkk., al-Mu`jam al-Mufahras Li alfadzi al-Hadits al-Nabawi, (Leidan: Mathba`ah Beril, 1965), hlm. 472.
[7] Rumus Mu’jam: ta` (ت) al-Tirmidziy, jim ha` (جه) Sunan Ibn Majah, ha` mim (حم) Musnad Ahmad, kha` (خ) Shahîh al-Bukhariy, dal (د) Sunan Abu Dawud, dal ya` (دي) Sunan al-Darimiy, tha` (ط) Muwatha` Malik, mim (م) Shahîh Muslim, dan nun (ن) Sunan al-Nasa`iy. A.J. Weinsinck (w. 1939), al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts, (Leiden: Briel, 1969), Juz 7, h. 2 dari Tanbihât wa Irsyâdât
Juz 2, h. 228
[8]CD Kutub at-Tis`ah, yaitu sembilan kitab hadits (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/shahihain, 1 musnad dan 6 kitab sunan).
[9] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abud Daud, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.), Juz I, hal. 171.
[10] Ahmad Ibn Syu’aib Abu Abdi al-Rahman al-Nasa’i, al-Mujtaba min al-Sunan li Sunan al-Nasa’i (Halab: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, 1986) Cet. Ke-2, Juz II, hal. 32.
[11] Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah al-Quzawainy, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz I, hal. 244.
[12] Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Musnad Ahmad Ibn Hanbal (Mesir: Mu’assasah Qurthubah, 2009) Cet. Ke-4, Juz III, hal. 134.
[13] Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah al-Salma, Shahih Ibn Khuzaimah (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th.), Juz II, hal. 281.
[14] Muhammad Ibn Hibban Ibn Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Basti, Shahih Ibn Hibban Bitartib Ibn Bilban, (Beirut: Mua’sasah al-Risalah, 1993) Juz IV, hal. 492.
[15] Ibid., Juz IV, hal. 493.
[16] Ibid., Juz XV hal.162.
[17] Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath, Penahqiq Thariqb In ‘Audlullah ibn Muhammad ibn Abd al-Muhsin Ibrahim al-Husaini, (Kairo: Dar al-Haramain, 1415 H), Juz II, 222
[18] Ahmad ibn al-Husain Ali ibn Musa Abu Bakr al-Baihaqy, Sunan al-Baihaqy al-Kubra tahqiq Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha’ (Makkah: Maktabah Dar al-Baz, 1414/1994), Juz II, hal. 439.
[19] Mahmud Tohhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Kuweit: Maktabah al-Ma’aarif li al-Nasyr wa Tauzi’, 1999) hal. 98.
[20] Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Makkah: Dar al-Haramain al-Syarifain, 2001), hal. 13-14.
[21] Jamaluddin Muhammad al-Sayid, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wa Juhuduhu fi Khidmati al-Sunnah al-Nababawiyyah Wa ‘Ulumiha, (Madinah: Umdatul ‘Ilmi bi al-Jami’ah, 2004) Juz I, hal. 355.
[22] Endang Soetari, Ilmu Hadits Dirayah,  hal. 164.
[23] Fathurrahman, Ikhtisar, hal. 95.
[24] Endang Soetari, Ilmu,   op. cit., hal. 165.
[25] Ma’luf. Lowis, al-Munjid Fi al Lughoh wa al- A’lam, (Lebanon : 1960), Dar al Masyrik, Cet ke-23.
[26] Ibnu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al Qoznawi Ibnu Majah. Al Hafidz, Sunan Ibnu Majah Huququ Nususihi Wa Roqqoma Kutubihi Wa Abwabihi Wa Ahaditsihi WA ‘Allaqo ‘Alaihi Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, (Semarang : Toha Putra, t.th). hal. 13-16.
[27] Lengkapnya lihat dalam Kitab Mu’jam Mufradat li Allfadzil al-Hadits
[28] Jalaluddin al-Suyuthi, Hasyiyah al-Suyuthi wa Sanadi ‘ala Sunan al-Nasa’i (Riyadh: Maktabah al-‘Utsaimin, t.th.) , hal. 479.
[29] ‘Ainu al-Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud,  Juz II, hal. 343
[30] Al-Adzimadadi, Aunul Ma’bud, Juz II, hal. 84
[31] Ibid., hal. 86
[32] Lihat Shahih Ibnu Hibban dengan penjelasan oleh Syuaib al-Arnauth mengatakan sanad hadits tersebut shahih sesuai syarat Bukhari.
[33] Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-Athar Min Ahadits Sayyidi al-Akhyar Syarh Muttaqiy al-Akhbar (Kuweit: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyyah, t.th.) Juz II, hal. 158.
[34] al-Faqih Zainuddin Abul al-Farj Abdirrahman Ibn Syihabuddin al-Baghdadi yang terkenal dengan Ibnu Rajab al-Hanbali, Syarh Khmasina Haditsan min Jami’ al-Kalam, (Riyadh: Dar al-Nasyr wa Dakwah wa al-Irsyad, t.th) Juz 4, hal. 70.
[35] al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1430) Juz I, hal. 249.

[36] Detailnya lihat Kitab Subul -Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar