SYARH DAN NAQD MELALUI METODE TAKHRIJ;
HADITS
TENTANG “BERBANGGA-BANGGAAN DENGAN BANGUNAN MASJID SEBAGAI TANDA HARI KIAMAT”
Oleh:
Junaidi
Abdillah
A.
Pengantar
Dewasa
ini, di dunia umumnya dan di di Indonesia khususnya fenomena membangun masjid
dengan model megah disertai hiasan yang menakjubkan telah menjadi trend yang
tak terbantahkan. Terdapat sejumlah masjid di Indonesia telah dibangun dan
dipandang terlalu “mewah” dan “megah”. Sebut saja masjid al-Mahri di Depok
Jabar, masji Agung Jawa Tengah di Semarang, masjid at-Tin Jakarta, masjid Islamic
Center di Samarinda, masjid Raya Makassar dan lain sebagainya.
Satu
sisi ada kebanggaan bagi umat Muslim dengan dibangunnya masjid-masjid yang
megah, sebagai simbol dan alat syi’ar Islam. Sebab, diyakini olen muslim, bahwa
masjid merupakan tempat suci dan simbol perjuangan dakwah Islam. Tidak
mengherankan jika Nabi, ketika hijrah langkah pertama yang dilakukan adalah
membangun masjid.
Namun
demikian, fenomena pergeseran paradigma dan fungsi masjid dapat dilihat dengan
kasat mata kita. Masjid-masjid megah nan mewah tersebut, saat ini, tidak lebih
sebagai tempat wisata dan hiburan bagi sebagian umat Islam. Masjid-masjid ini
banyak dikunjungi pengunjung umat dari belahan nusantara. Jika dicermati
masjid-masjid justru sepi dalam hal pemakmurannya, dan tidak lebih dari sekadar
tempat wisata religius. Jika dianalisis lebih dalam, terutama dari apsek
sosiologis, ada pergeseran paradigma masyarakat akan fungsi utama masjid.
Tampak masjid-masjid megah sepi dari jama’ah. Kemegahan dan kebesaran masjid
tidak berbanding lurus dengan kwantitas jama’ah terlebih aktivitas taklim di
dalamnya.
Tidak
mengherankan jika empat belas abad silam, Nabi –melalui sabdanya-- disinyalir pernah
melarang “bermegah-megahan” dengan masjid. Bahkan hadits tentang
“bermegah-megahan” dengan masjid erat kaitannya dan dilekatkan dengan salah
satu dari tanda-tanda hari kiamat tiba. Pertanyaannya kemudian, benarkah keshahihan
hadits ini jika ditinjau dari studi kritik sanad dan matan? Para ulama dan
fuqaha pun berbeda pandangan terkait hukum aspek hukum yang terkandung dalam
hadits tersebut. Oleh karena itu paper ini hendak mencari kualitas, dan
istinbath al-ahkam dari hadits tersebut dengan metode takhrij.
B.
OTENTISITAS HADITS
1.
Teks Hadits
Pembahasan syarah dan kritik (naqd) melalui metode takhrij hadits dengan tema “bermegah-megahan dengan masjid” diawali
dengan ditemukannya hadits itu dalam kitab takhrij maudu’i, yakni
kitab Bulughul Maram karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.[1] Dari pelacakan
tersebut ditemukan teks hadits tersebut yang berbunyi:
263- وعَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم :لَا تَقُومُ اَلسَّاعَةُ
حَتَّى
يَتَبَاهَى اَلنَّاسُ فِي اَلْمَسَاجِدِ - أَخْرَجَهُ
اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيُّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة
Artinya: dari Anas berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW:
“tidak akan tiba hari qiyamat (akhir) sehingga manusia dalam keadaan
bermegah-megahan dengan masjid”. Diriwiyatkan oleh Imam Lima Kecuali
al-Tirmidzi dan hadits ini dishahihkan oleh Ibn Huzaimah.
Sedangkan al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi tidak
ditemukan hadits tentang bermegah-megahan dengan masjid. Namun demikian ,
hadits ini kemudian oleh Ibnu Huzaimah dipandang hadits yang shahih. Adapun
rincian dalam kitab bulugh al-maram sebagaimana terkutip dalam catatan
kaki tersebut terdapat keterangan berikut:
أبو داود (449) ، والنسائي (2/32) ، وابن ماجه (739) ، وأحمد (3/134
و 145 152 و230 و283) ، وابن خزيمة (1323) ..
Jadi, melalui petunjuk (dalalah) dari kitab bulughul
maram tersebut maka hadits tersebut terdapat atau dapat ditemukan dalam dalam
al-mashadir al-ashliyyah:
a)
Sunan Abu Dawud
b)
Sunan al-Nasa’i
c)
Sunan Ibnu Majah
d)
Musnad Ahmad Ibn Hambal, dan
e)
Shahih Ibnu Khuzaimah
Selanjutnya pelacakan teks menggunakan dalalah
Berdasarkan penulusuran (dilalah/tautsiq) di dalam Kitab al-Jamius
al-Shaghir[2] karya Jalal al-Din al-Suyuthi, dengan lafadz dan
kata kunci awal يتباهى. Dari lafadz tersebut maka
penulis dapat menemukan hadits dengan bunyi:
Bertolak dari dalalah kitab al-Jami’
al-Shaghir di atas maka dapat diketahui bahwa al-mashadir al-ashliyyah hadits
tentang bermegah-megahan dengan masjid terdapat dalam kitab:
a) Sunan al-Nasa’i
b) Shahih Ibnu Hibban
c) Musnad Ahmad Ibn Hanbal
Penelusuran selanjutnya kemudian dilkaukan
penulis dengan menggunakan Kitab al-M'ujam al-Mufahrasالمعجم المفهرس [6] karya Arnold Weinsink melalui kata kunci يتباهى (yatabaha). Dari sini kemudian penulis menemukan petunjuk:[7]
من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد.
ن مساجد 2, د صلاة 12, جه مساجد 2, ذى صلاة 23,
حم 3, 124, 145, 156, 230, 283.
Berdasarkan dari dalalah al-Mu’jam
al-Mufahras di atas, maka dapat ditemukan bahwa hadits tersebut terdapat dalam
al-mashadir al-ashliyyah yaitu:
a)
Sunan al-Nasa’i
b)
Sunan Abu Dawud
c)
Sunan Ibnu Majah
d) Sunan al-Daromi
e)
Musnad Ahmad Ibn Hanbal
Selanjutnya,
berdasarkan metode dalalah yang
bersifat check and recheck dilakukan dengan menggunakan petunjuk al-Maktabah
al-Syamilah versi 2014, dengan bersumber pada file al-Kutub
al-Tis`ah.[8] Untuk menemukan tempat dari sebuah Hadits pada Mashadir
al-Ashliyyah melalui program tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya melalui lafaz Hadits yang sudah diketahui, seperti lafaz يتباهى الناس dalam Hadits tersebut. Berikut ini
langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menemukan tempat hadits tersebut pada
al-mashadir al-ashliyyah Dilâlaḧ dan tawtsiqyang bersifat cek-ricek
menggunakan CD al-Maktabah al-Syâmilah dengan proses:
1.
Setelah
program Maktabah al-Syâmilah-nya dibuka, klik tabsearch (بحث),
kemudian muncul jendela شاشة البحث
2.
Selanjutnya pilih بحث في النصوص dan
memasukan kata يتباهى dan من أشراط pada kolom ابحث عن حميع
هذه العبارة
3.
Selanjutnya pilih متون الحديث dan
centang/klik pilihan المجموعة كلها
4.
Langkah selanjutnya adalah klik tab تنفيذ
البحث.
Dari pelacakan dan penulusuran
yang bersifat check dan recheck ini dapat ditemukan mashadir
ashliyyah-nya:
(a)
Sunan Abi Dawud
(b)
Sunan Ibnu Majah
(c)
Shahih Ibnu Hibban
(d)
Shahih ibnu Khuzaimah
(e)
Mu’jam al-Awsath al-Thabrani
(f)
Musnad Ahmad ibn Hanbal
(g)
Sunan Kubra li al-Nasa’i
(h)
Sunan Kubra li al-Baihaqi
(i)
Musnad Bazzar
(j)
Sunan al-Daromi
2.
Rekapitulasi al-Mashadir al-Ashliyyah
NO.
|
DILALAH
|
AL-MASHADIR
AL-ASHLIYYAH
|
1.
|
Takhrij Maudlu’i: Bulugh al-Maram
|
1.
Sunan Abu Dawud
2.
Sunan al-Nasa’i
3.
Sunan Ibnu Majah
4.
Musnad Ahmad Ibn Hanbal
5.
Shahih Ibnu Khuzaimah
|
2.
|
Al-Jami’ Al-Shaghir
|
1. Sunan
al-Nasa’i
2. Shahih Ibnu
Hibban
3.
Musnad Ahmad Ibn Hanbal
|
3.
|
Al-Mu’jam al-Mufahras
|
1. Sunan
al-Nasa’i
2. Sunan Abu
Dawud
3. Sunan Ibnu
Majah
4. Sunan
al-Daromi
5. Musnad Ahmad
Ibn Hanbal
|
4.
|
Maktabah Syamilah versi terbaru
|
1. Sunan Abi Dawud
2. Sunan Ibnu Majah
3. Shahih Ibnu Hibban
4. Shahih Ibnu Khuzaimah
5. Mu’jam al-Awsathli al-Thabrani
6. Musnad Ahmad ibn Hanbal
7. Sunan al-Nasa’i
8. Sunan li al-Baihaqi
9. Musnad Bazzar
10.
Sunan al-Daromi
|
Dari tabel di atas, maka dapat di-shortir dengan sistem verfikisasi bahwa rekapitulasi keseluruhan
hadits tentang bermegah-megahan dengan bangunan masjid, dapat ditemukan
sumber-sumber aslinya (al-mashadir al-ashliyyah) yaitu: (1) Sunan Abu Dawud, (2) Sunan al-Nasa’i, (3) Sunan Ibnu Majah, (4)
Musnad Ahmad ibn Hanbal, (5) Shahih Ibnu Khuzaimah, (6) Shahih Ibnu Hibban, (7) Mu’jam Austath al-Thabrani, (8) Sunan al-Baihaqi, (9) Musnad Bazzar dan (10) Sunan al-Daromi.
3.
Teks Hadits dari al-Mashadir al-Ashliyyah
1)
Dari
kitab Sunan Abi Dawud tepatnya dalam bab bina’ al-masjid Juz 1
hal 171 tepatnya hadits ke-449 dengan bunyi:[9]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِىُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسٍ وَقَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ .
2)
Dari
kitab Sunan al-Nasa’i terdapat
dalam kitab Sunan Kubra li al-Nasa’i Juz 1 halaman 255 tepatnya hadits
nomor ke-768 dengan bunyi teks:[10]
أخبرنا سويد بن
نصر قال أنبأ عبد الله يعني بن المبارك عن حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن
انس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ان من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في
المساجد .
3)
Dari
kitab Sunan Ibnu Majah Juz I hal. 244 bab tasyidu al-masajid, tepatnya hadits ke-739 dengan
bunyi hadits:[11]
حدثنا
عبد الله بن معاوية الجمحي . حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس بن
مالك قال : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى
الناس في المساجد )
4)
Dalam
kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal terdapat lima hadits dengan sanad yang
berbeda:
Pertama, pada juz 3 halaman 134 hadits nomor ke-12402 dengan bunyi
teks:
حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الصمد ثنا حماد يعني بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن
أنس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في
المساجد[12]
Kedua, pada juz 3 halaman 145 hadits nomor ke-12495 dengan bunyi teks:
حدثنا عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا حَمَّادُ بن سَلَمَةَ عن أَيُّوبَ عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ
Ketiga, pada juz 3 halaman 152 hadits nomor ke-12559 dengan bunyi teks:
حدثنا
عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا عبد الصَّمَدِ وَعَفَّانُ قَالاَ ثنا حَمَّادٌ عن
أَيُّوبَ عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسٍ ان رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال *
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى
الناس في الْمَسَاجِد.
Keempat, pada juz 3 halaman 230 hadits nomor ke-13428 dengan bunyi teks:
حدثنا
عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا يُونُسُ وَحَسَنُ بن مُوسَى قَالاَ ثنا حَمَّادُ بن
سَلَمَةَ عن أَيُّوبَ السختياني عن أبي قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ أَنَّ
النبي صلى الله عليه وسلم قال * لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في
الْمَسَاجِد.
Kelima, pada juz 3 halaman 283 hadits nomor ke-14052 dengan bunyi teks:
حدثنا
عبد اللَّهِ حدثني أبي ثنا عَفَّانُ ثنا حَمَّادُ بن سَلَمَةَ ثنا أَيُّوبُ عن أبي
قِلاَبَةَ عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم * لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ.
5)
Terdapat
dalam Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Ada dua sanad hadits yaitu:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ ،
حَدَّثَنَا الْمُؤَمَّلُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ ،
عَنْ أَيُّوبَ ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ
: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِنْ
أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ بِالْمَسَاجِدِ.
Kedua,
pada juz II halaman 281 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ،
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْخُزَاعِيُّ ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ ،
عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ أَنَسٍ ، وَأَيُّوبَ ، عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ.
Pertama hadits no. 1613 yang berbunyi:
أخبرنا
محمد بن إسحاق الثقفي قال : حدثنا أبو يحيى محمد بن عبد الرحيم قال : حدثنا عفان
قال : أخبرنا حماد بن سلمة قال : حدثنا أيوب عن أبي قلابة :عن أنس بن مالك
قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يتباهى الناس في المساجد .
Kedua, yaitu hadits nomor 1614 yang berbunyi:
أخبرنا أبو يعلى قال : حدثنا عبد الله بن
معاوية الجمحي قال : حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة عن أنس قال : قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[15]
Ketiga, hadits nomor 6760 yang berbunyi:
أخبرنا أبو يعلى قال : حدثنا عبد الله بن
معاوية قال : حدثنا حماد بن سلمة عن أيوب عن أبي قلابة : عن أنس بن مالك قال : قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[16]
7)
Dalam
kitab Mu’jam al-Awsath al-Thabrani dalam Juz 8 halaman 222 tepatnya
hadits nomor ke-8460 dengan bunyi teks:
حدثنا معاذ قال نا محمد بن عبد الله الخزاعي قال نا حماد بن سلمة عن
أيوب عن أبي قلابة عن أنس وقتادة عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا
تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد.[17]
8)
Terdapat
dalam kitab Sunan Kubra li al-Baihaqi Juz 2 halaman 439 tepatnya hadits
nomor ke-4097dengan bunyi teks:
وأنبأ أبو طاهر الفقيه أنبأ أبو
طاهر المحمد آباذي ثنا أبو قلابة ثنا عفان ثنا حماد ثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد[18].
9)
Dalam
kitab Musnad al-Bazzar, Juz 2 halaman 311 tepatnya hadits nomor ke-6778
dengan bunyi teks:
حَدَّثنا
عبد الله بن معاوية الجمحي ، حَدَّثنا حماد بن سلمة , عن أيوب ، عَن أبي قلابة ،
عَن أَنَسٍ ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تقوم الساعة حتى يتباهى
الناس بالمساجد.
Kedua,hadits
no. 7263 Juz 2 halaman 344:
حَدَّثنا مُحَمد بن المثنى ، حَدَّثنا مُحَمد
بن عَبد الله الخزاعي ، حَدَّثنا حماد ، عَن قَتادة ، عَن أَنَس : أن النبي صلى
الله عليه وسلم ، قَال : لاَ تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد.
10)
Terdapat
dalam kitab Sunan Daromi Juz 1 halaman 383 tepatnya hadits nomor ke-1408
dengan bunyi teks:
أخبرنا
عفان ثنا حماد بن سلمة ثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله
عليه و سلم قال : )لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد(
4.
Unsur Hadits dan Diagram Rawi dan Sanad
a)
Sunan Abu Dawud: (1) Anas, (2) Qatadah, (3) Anas, (4) Abu Qilabah, (5) Ayyub, (6) Hammad ibn
Salmah, (7) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i, dan (8) Abu Dawud.
b)
Sunan al-Nasa’i: (1) Anas, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad ibn Salmah, (5) Abdullah (Ibn
al-Mubarak), (6) Suwaid ibn Nashr dan (7) al-Nasa’i.
c) Sunan Ibnu Majah: (1) Anas ibn Malik, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad Ibn
Salmah, (5) Abdullah Ibn Mu’awiyah al-Jamha dan (6) Ibnu Majah.
d)
Musnad Ahmad ibn Hanbal,
Ø Hadits 1: (1) Anas, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad ibn Salmah, (5)
‘Abd al-Shamad, (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha, (7) Abdullah dan (8)
Ahmad.
Ø Hadits 2: (1) Anas ibn Malik, (2) Abu Qilabah, (3) Ayyub, (4) Hammad Ibn
Salmah, (5) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha, (6) Abdullah dan (7) Ahmad.
Ø Hadits 3: (1) Anas (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad (5) ‘Affan dan
‘Abdus Shomad (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha (7) Abdullah (8) Ahmad.
Ø Hadits 4: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub al-Sikhtiyani (4)
Hammad Ibn Salmah (5) Hasan Ibn Musa dan Yunus (6) Ayah Abdullah/Mu’awiyah
al-Jamha (7) Abdullah (8) Ahmad.
Ø Hadits 5: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah
(4) ‘Affan (5) Ayah Abdullah/Mu’awiyah al-Jamha (6) Abdulllah (7) Ahmad.
e)
Shahih Ibnu Khuzaimah
Ø Hadits 1: Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5)
al-Mu’ammal ibn Ismail (6) Muhammad ibn Rafi’ (7) Ibn Khuzaimah.
Ø Hadits
2: (1) Anas ibn Malik (2) Abu
Qilabah (3) Ayyub (4) Anas (5) Qatadah
(6) Hammad (7) Muhammad ibn Abdillah al-Khuza’i (8) Muhammad ibn Yahya.
f) Shahih Ibnu
Hibban: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5)
‘Affan (6) Abu Yahya Muhammad ibn ‘Abd al-Rahim (7) Muhammad ibn Ishaq
al-Tsaqafi (8) Ibn Hibban.
g)
Mu’jam Austath al-Thabrani: (1) Anas (2) Qatadah dan Anas (3) Abu Qilabah
(4) Ayyub (5) Hammad ibn Salmah (4) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i (6) Mu’adz
(7) al-Thabrani.
h)
Sunan al-Baihaqi: (1) Anas (2)
Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad (5) ‘Affan (6) Abu Qilabah (7) Abu Thahir
al-Muhammad Abadzi Abu Thahir al-Faqih (8) al-Baihaqi.
i)
Musnad
Bazzar
Ø Hadits 1: (1) Anas (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah (5)
Abdullah ibn Mu’awiyah al-Jamha (6) al-Bazzar.
Ø Hadits 2: (1) Anas (2)
Qatadah (3) Hammad (4) Muhammad ibn Abdullah al-Khuza’i (5) Muhammad Ibn
al-Mutsanna (6) al-Bazzar.
j)
Sunan al-Daromi: (1) Anas ibn Malik (2) Abu Qilabah (3) Ayyub (4) Hammad ibn Salmah
(4) ‘Affan (5) al-Daromi.
5.
Perbandingan Matan
Sementara
matan hadis bermegah-megahan dengan
masjiddapat dipetakan dalam tabel sebagai berikut:
Matan
|
Mashâdir al-Ashliyyaḧ
|
No
|
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى
النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
|
سنن أبي داود
|
1
|
ان من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد
|
سنن النسائي
|
2
|
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
|
سنن ابن ماجه
|
3
|
-
لا
تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
|
مسند أحمد
|
4
|
-
لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ
|
||
- لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس
في الْمَسَاجِد
|
||
-
لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِد
|
||
-
لاَ
تَقُومُ السَّاعَةُ حتى يَتَبَاهَى الناس في الْمَسَاجِدِ
|
||
-
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ بِالْمَسَاجِدِ
|
صحيح ابن خزيمة
|
5
|
-
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ
|
||
-
نهى
رسول الله صلى الله عليه و سلم أن
يتباهى الناس في المساجد
|
صحيح ابن حبان
|
6
|
-
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في
المساجد
|
||
-
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
|
||
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
|
المعجم الأوسط للطبرانى
|
7
|
لا تقوم
الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
|
السنن الكبرى للبيهقي
|
8
|
-
لا
تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
|
مسند البزار
|
9
|
-
لاَ تقوم الساعة حتى يتباهى الناس بالمساجد
|
||
لا تقوم الساعة حتى يتباهى الناس في المساجد
|
سنن الدارمى
|
10
|
Bertolak dari
paparan tabel tentang matan yang
bersumber pada sepuluh al-mashādir al-ashliyyah dengan delapan belas
matan yang ada di atas, telah peneliti identifikasi
ragam matan-matannya. Dan dari
delapan belas matan di atas, maka hanya ada tiga ada matan yang agak berbeda
pada permulaan hadits tersebut. Artinya, lima belas hadits semuanya diawali
dengan redaksi “la taqumu” sedang dua lainnya diawali dengan redaksi “min
asyrath al-sa’ah” dan yang satu terakhir diawali dengan redaksi “naha”. Namun
demikian, kendati terjadi perbedaan secara redaksional di awal hadits, tidak
mengurangi makna hadits atau substansi matan hadits tersebut. Artinya, semua
hadits menyatakan bahwa bermewah-mewahan dengan masjid adalah indikasi hari
akhir akan datang.
Untuk rangka perbandingan matan, perlu
diketahui bahwa, dalam kajian matan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu lafdhzi,
maknawi, tanaqudh dan ta`arudh. Lafdzi
artinya tidak ada perbedaan baik lafadz maupun maknanya. Maknawi,
artinya berbeda lafadznya, akan tetapi menunjukkan arti dan makna yang sama. Tanaqudh, artinya berbeda lafadznya dan mengubah arti dan makna. Ta`arudh,
artinya berbeda lafadznya dan berlawanan maknanya.
Berdasarkan pada perbandingan matan
hadits di atas, maka hadits tentang bermegah-megahan
atau berbangga-banggaan dengan
bangunan masjid termasuk ke dalam hadits maknawi, maksudnya teks hadits tersebut
kendati berbeda lafadz tetapi tetap menunjukkan makna yang sama.
6.
Daftar Rawi
Dalam rangka melacak keadaab para rawai, terutama
terkait aspek lahir-wafat, rutbah jarh wa ta’dil dan thabaqaḧ rawi sanad dibuat
daftar dengan menggunakan kitab Tahdzîb al-Kamal karya al-Mizziy, Tahdzîb
al-Tahdzîb karya Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Mizan al-I’tidal karya
al-Dzahabiy dan kitab lainnya yang dibutuhkan ketika tidak terdapat di dalam
kitab yang telah disebutkan. Daftar rawi sanad hadis di atas adalah:
No
|
Rawi Sanad
|
L/W (H)
|
RJT
|
Thabaqât
|
|||
L
|
W
|
J
|
T
|
Thdzb
|
S/T
|
||
1
|
Anas Ibn Malik
|
|
91 H
|
|
‘Adalah wa tautsiq
|
1
|
S
|
2.
|
Abu Qilabah
|
|
104 H
|
|
ثقة
فاضل
|
3
|
T
|
3.
|
Qatadah ibn Di’amah
|
60
|
100H
|
|
Tsiqat-tsubut
|
4
|
T
الوسطى من
التابعين
|
4
|
Ayyub
|
66
|
131 H
|
|
ثقة ثبت حجة
|
5
|
T
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
Hammad ibn Salmah
|
|
167 H
|
|
ثقة
صدوق
|
8
|
TT
|
6
|
Muhammad Ibn Abdullah
al-Khuza’i
|
|
223 H
|
|
ثقة
|
9
|
TT
صغار أتباع التابعين
|
7
|
Abdullah Ibn al-Mubarak
|
118
|
181 H
|
|
ثقة
ثبت فقيه عالم جواد مجاهد
|
8
|
TT
من الوسطى من أتباع التابعين
|
8
|
Abdullah Ibn Mu’awiyah al-Jamha
|
|
243 H
|
|
عند
ابن حجر : ثقة
|
10
|
TTT
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
|
9
|
‘Affan
|
|
219 H
|
|
عند ابن حجر :
ثقة ثبت
عند الذهبي :
الحافظ
|
10
|
TTT
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
|
10
|
‘Abd al-Shamad
|
|
207 H
|
|
عند ابن حجر :
صدوق ، ثبت فى شعبة
عند الذهبي :
الحافظ ، حجة
|
9
|
TT
من صغار أتباع التابعين
|
11
|
al-Hasan ibn Musa
|
|
209 H
|
|
ثقة
|
9
|
TT
من صغار أتباع التابعين
|
12
|
Yunus
|
|
207 H
|
|
عند ابن حجر :
صدوق ربما أخطأ
عند الذهبي :
الحافظ ، ثقة
|
9
|
TT
من صغار أتباع التابعين
|
13
|
Mu‘ammal ibn Ismail
|
|
206 H
|
|
عند ابن حجر :
صدوق سىء الحفظ
|
9
|
من صغار أتباع التابعين
|
14
|
Muhammad Ibn al-Mutsanna
|
167
|
252H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة ثبت
عند الذهبي :
ثقة
|
10
|
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
|
15
|
Suwaid ibn Nashr
|
150
|
240H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة
عند الذهبي
: ثقة
|
10
|
TTT
كبار
الآخذين عن تبع الأتباع
|
16
|
Mu’adz
|
|
200H
|
|
عند ابن حجر
: صدوق
عند الذهبي
: ثقة
|
10
|
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
|
16
|
Muhammad ibn Rafi’
|
|
245H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة
عند
الذهبي : الحافظ
|
11
|
أوساط الآخذين
عن تبع الأتباع
|
16.
|
Muhammad Ibn Yahya
|
172
|
258H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة حافظ جليل
عند الذهبي :
الحافظ
|
11
|
أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
|
17.
|
Abu Ya’la
|
210
|
307H
|
|
الدَّارَقُطْنِيَّ:ثِقَةٌ،
مَأْمُوْنٌ
|
11
|
TTT
|
18.
|
Abu Yahya Muhammad Ibn Abdurrahim
|
185
|
255H
|
|
عند ابن حجر : ثقة حافظ
عند الذهبي : الحافظ
|
11
|
TTTT
|
19.
|
Muhammad ibn Ishaq
|
|
270H
|
|
ابن حجر : ثقة ثبت
عند الذهبي : الحافظ
|
11
|
TTTT
|
20
|
Abu Thahir Muhammad Abadzi
|
|
|
|
Tsiqat
|
|
|
21.
|
Abu Thahir al-Faqih
|
|
|
|
Tsiqat
|
|
|
22.
|
Ibnu Majah
|
209
|
273H
|
|
عند ابن حجر
: أحد الأئمة ، حافظ
رتبته عند
الذهبي : الحافظ ، صاحب السنن
|
|
|
23
|
Abu Dawud
|
|
275H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة حافظ ، مصنف " السنن "
و غيرها ، من كبار العلماء
رتبته عند
الذهبي : الحافظ ، صاحب السنن ، ثبت حجة
إمام عامل
|
11
|
|
24
|
Ahmad Ibn Hanbal
|
164
|
241H
|
|
ابن حجر
: إمام ثقة حافظ فقيه حجة
عند الذهبي
: الإمام
|
10
|
كبار الآخذين عن تبع الأتباع
|
25
|
Al-Daromi
|
181
|
255H
|
|
عند ابن حجر
: ثقة فاضل متقن ، الحافظ
عند الذهبي
: الحافظ
|
11
|
أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
|
26
|
Ibnu Khuzaimah
|
223
|
311H
|
|
Tsiqat,
tsubut, hafizh
|
12
|
TTTT
|
27.
|
Al-Nasa’i
|
215
|
303H
|
|
|
12
|
TTTT
|
28.
|
Al-Baihaqy
|
384
|
458H
|
|
Tsiqat,
hafidz
|
14
|
TTTTT
|
29.
|
Al-Bazzar
|
|
|
|
|
|
|
30.
|
Ibnu Hibban
|
|
|
|
|
|
|
31.
|
Al-Thabrani
|
260
|
360H
|
|
Hafidz,
tsiqat
|
13
|
TTTT
|
1.
Diagram
atau Silsilah Sanad
Dalam bentuk diagram, rawi sanad hadis di atas dapat
dilihat pada gambar diagram atau silsilah sanad sebagaimana terlampir.
C.
KEHUJJAHAN HADITS
1.
Taqsim
Untuk mengetahui jenis hadits, apakah ia termasuk
mutawatir atau ahad, marfu`, mauquf atau maqtu` dan mutasil atau munqati`, maka
kita harus meneliti unsur haditsnya, yaitu rawi, matan dan sanad.
a. Rawi
الراوى
من تلق الحديت واداه بصيغة من صيغ الاداء
Rawi
adalah orang yang meriwayatkan hadits atau orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah
satu bahasa penyampaian. Berdasarkan jumlahnya, rawi terbagi menjadi mutawatir
dan ahad. Rawi mutawatir artinya rawi tersebut harus
indrawi (mahsus), tidak terkesan dusta dan minimal 4 orang tiap thabaqat, sedangkan ahad
artinya rawi yang tidak memenuhi syarat-syarat rawi mutawatir.
b.
Matan
Matan
adalah materi berita yang diterima dari sanad yang terakhir. Dalam hal ini
meliputi dua hal, yaitu bentuk dan idhafah. Bentuk meliputi aqwal,
af'al, taqrir, sifat, keadaan, dan himah. Aqwal adalah perkataan yang pernah
beliau ucapkan, yakni suatu bunyi yang di lisankan dan mempunyai makna, baik
mengenai aqidah, hukum, ahlak, pendidikan dan lain-lain. Af’al
adalah apa yang beliau kerjakan yang merupakan penjelasan dan pengamalan
praktisi terhadap peraturan syariat, praktik ibadah, muamalah dan lain-lain. Taqrir
adalah kesan adanya ketetapan aturan dan ajaran dari keadaan beliau mendiamkan,
tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah di lakukan atau di
perkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau. Sifat adalah
sifat-sifat yang di lukiskan oleh para sahabat dan ahli tarih seperti bentuk
fisik Nabi. Keadaan adalah nama-nama dan tahun kelahiran yang ditetapkan ahli
tarih dan para sahabat. Himah adalah rencana atau hasrat Nabi yang belum
direalisasikan.
Idhofah
bisa dipahami melalui marfu` (hadits
tersebut bersandar sampai pada Nabi), mauquf (hadits yang bersandar pada
sahabat Nabi), dan maqtu` (hadits yang bersandar pada tabi`in).
c. Sanad
السند
هو سلسللة الرواة الذين نقلواالحديث واحدا عن الغير حتى يبلغوا الىقاءله
Sanad adalah
rangkaian mata rantai para rawi yang meriwayatkan hadits dari yang satu kepada yang lainnya hingga sampai kepada sumbernya. Jadi,
sanad merupakan jalan yang dapat menghubungkan matan hadits
kepada Nabi Muhammad SAW. Sanad meliputi dua hal, yaitu ittisal (muttasil)
dan keadaan. Definisi Hadits mutasil:
الحديث المتصل هو الذى سمعه كل واحد من
رواته ممن فوقه حتى ينتهى الى منتهاه سواء كان مرفوعا او موقوفا
"Hadits muttasil adalah hadits yang didengar oleh masing-masing
rawinya dari rawi di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits marfu,
maqtu', dan mauquf.
Sanad
hadits muttasil bersambung antara rawi guru dan rawi murid (liqo`), sedangkan sanad keadaan dilihat dari
keadaan sanadnya apakah termasuk mu`an`an (diriwayatkan
memakai lafadz `an), muannan (diriwayatkan memakai ladaz anna), `ali (diriwayatkan dengan sedikit
jumlah rawi, akan tetapi sanadnya sampai pada Nabi), nazil (diriwayatkan
dengan banyak rawi, sanadnya sampai pada Nabi), musalsal (Rawi-rawi
saling mengikuti seorang demi seorang untuk mengenal sifat dan keadaan), atau mudabbaj
(diriwayatkan oleh 2 orang yang timbal balik saling meriyatkan antara
keduanya).
Berdasarkan dari
penjelasan dan
kaidah-kaidah di atas,
maka hadits terkait bermegah-megahan dengan masjid dapat
diuraikan dengan penjelasan sebagai berikut:
Pertama, unsur rawi. Dilihat dari jumlah
rawi, maka hadits ini termasuk hadits ahad karena per-thabaqah-nya
terdiri dari satu sampai pada dua rawi atau lebih. Pada thabaqah sahabat, hanya
ada seorang sahabat yang meriwayatkan hadits ini yakni Anas` ibn Malik. Pada
thabaqah tabi’in (T),
hanya diriwayatkan oleh dua orang
rawi yaitu Abu Qilabah dan Qatadah. Sementara pada thabaqah
ketiga (TT) hadits ini hanya ada seorang yaitu Ayyub dan selanjutnya pada
tahbaqah keempat hanya ada seorang Hammad ibn Salmah. Sedangkan pada level atau
thabaqah kelima diakui banyak perawi yang jumlahnya mencapai sembilan orang. Sedangkan
yang terakhir (mudawwin), hadits ini diriwayatkan oleh sepuluh orang mudawwin.
Berdasarkan analisis kwantitatif rawi hadits, maka hadits
ini termasuk hadits ahad dengan kategori hadits ahad gharib. Mengapa?
Karena dalam setiap thabaqat sanadnya diriwayatkan oleh sedikit rawi. Secara bahasa hadits gharib
berarti hadits yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Secara istilah para ulama hadits memberikan definisi bhawa
hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi pada tingkatan (thabaqat) maupun sanad. Dengan demikian, meskipun sebuah hadits memiliki rawi yang banyak di tingkatan
yang lain namun hanya memiliki satu orang rawi di tingkat pertama atau kedua, maka hadits tersebut tetap tergolong hadits yang gharib. Selanjutnya, secara kualitatif, para ahli hadits membagi hadits āhad dalam tiga tingkat, yaitu hadits sahih, hadits hasan,
dan hadits dla’if. Uraian tentang ini akan dikupas pada analisis berikutnya pada bab tash-hih.
Kedua, unsur matan. Dikaji dari segi
bentuk atau wujud matannya, hadits ini dapat dikategorikan sebagai hadits aqwal
yang bersifat firasah. Sedangkan matan apabila dilihat dari segi
penisbahannya, hadits ini merupakan hadits marfu’ sebab langsung
disandarkan pada Nabi SAW. Dengan demikian, hadits
ini dari segi matan termasuk hadits marfu’
qauliy.
Ketiga, unsur sanad. Dianalisis dari
sisi ketersambungan sanad, hadits ini dikategorikan sebagai muttashil, karena
sanad hadits ini bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah. Artinya, para rawi (rawi guru
dan rawi murid) yang terdapat pada
sanad hadits tersebut bertemu (liqa’). Hal yang dijadikan ukuran
adalah adanya pertemuan di
antara guru dan murid. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari periode
hidup mereka, daerah tempat tinggal, dan profesi mereka sebagai muhadditsin.
Sedangkan dilihat dari keadaan sanad (ahwal al-sanad), hadits ini
termasuk jenis hadits mu’an’an karena rawi kedua (tabi’in) sampai
rawi kelima (TTT) diriwayatkan dengan memakai atau menggunakan lafazh عَنْ (‘an atau dari). Selain itu,
dilihat dari kwalitasnya, hadits ini disebut juga
sebagai hadits ‘Ali
ini termasuk hadits ‘Ali. Hal ini bisa dilihat karena
setiap perawi hadits dari setiap thabaqatnya hanya diriwayatkan sedikit rawi
baik pada thabaqah S, T, TT, TTT, TTTT. Sebagaimana definisinya:
Bahwa yang dimaksud dengan hadits ‘ali yaitu hadits yang dimana
sanadnya terdiri jumlah perawinya lebih sedikit jika
dibandingkan dengan sanad yang lain. Dimana hadits dengan sanad yang jumlah
perawinya sedikit tersebut akan tertolak dengan sanad yang sama jika
jumlah perawinya lebih banyak.
2.
Hujjiyat al-Hadits: Tash-hih al-Hadits
Sebagai sumber
hukum setelah Alquran hadits berfungsi sebagai hujjah (argumen hukum).
Dengan kata lain, hujjah adalah kapasitas hadits sebagai pedoman
pengamalan syara’ atau syariat, sebagai bayan al-Qur'an dan istinbat
al-ahkam. Hadits mutawatir mempunyai kapasitas kehujjahan yang menghasilkan
ilmu dharuri, yakni qath’iyul wurud dan qath’iyul dilalah.
Sedangkan hadits ahad adalah dhanniyul wurud
dan dhanniyul dilalalah. Untuk menentukan kualitas hadits, dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu metode tashhih dan i`tibar.[20]
a.
Tashhih
Sebagaimana diketahui bahwa definisi hadits shahih adalah:
الحديت الصحيح هو الحديت الذى اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل
الضابط الى منتهاه ولا يكون ساذا ولا معللا.[21]
Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang juga
adil dan dhabith sampai sanad terakhir, dan hadits itu tidak janggal dan
tidang cacat. Seorang mudawin menyeleksi dan
menyaring hadits untuk keperluan tadwin hadits atau ia menganalisis keshahihan
hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah dirayah.[22]
Berdasarkan kaidah dirayah dan uraian diatas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa:
1.
Rawi
hadits di atas tergolong adil dan dhabith;
2.
Sanadnya
bersambung kepada Nabi;
3.
Matannya
bersambung kepada Nabi, tidak ada illat dan syadz.
Berdasarkan jumlah rawi, sanad dan
matan, kualitas hadits tersebut termasuk ahad,
sebab tiap thabaqahnya kurang dari empat perawi. Karena
itu menghasilkan Ilmu yang bersifat dugaan yang mengandung propabilitas.
Artinya, ia hanya bersifat zhanny al-wurud, zhanny al-dalalah, maqbul, dan
shahih. Lebih jauh kalau di-tashih berdasarkan keadaan rawi sanad dan matan,
maka hadits-hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih, yaitu
rawinya adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber`illat
(tidak cacat) dan tidak syadz (tidak janggal).[23]
b.
I’tibar
I'tibar
adalah mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur kitab/diwan yang asli
(mashadir al-Asliyah), kitab syarah atau kitab fan yang
memuat dalil-dalil hadits.[24]
Oleh karena itu, i`tibar meliputi 3 hal, yaitu i`tibar diwan,
i`tibar syarh dan i`tibar fan. I`tibar diwan artinya
menentukan kualitas hadits atas dasar petunjuk jenis kitab diwan. Kitab diwan
menentukkan kualitas hadits. Menurut konfensi Muhadditsin bahwa hadits-hadits
dalam kitab shahih, maka haditsnya
shahih pula. Hadits-hadits dalam kitab Sunan mungkin shahih, hasan,
atau dhoif, akan tetapi tidak sampai pada matruk, mungkar
atau maudhu`. Sedangkan kitab musnad Muwatho` Malik, mungkin shahih,
hasan, dhoif bahkan dimungkinkan mengandung hadits maudhu`,
matruk atau mungkar.
Berdasarkan pada petunjuk kitab diwan
(al-mashadir
al-Asliyah), maka hadits tersebut termasuk dalam kategori hadits shahih-ahad. Dilihat dari mashadir al-asliyyah melalui para mudawwin
hadits, maka hadits ini terdapat dan dapat ditemukan dalam (dua) kitab Shahih
dan (lima) kitab Sunan, Dua musnad dan satu mu’jam. Walhasil, hadits ini secara
kualitatif kuat dengan unsur-unsur keshahihan hadits.
c.
Tathbiq al-Hadits
Dikaji dari aspek tathbiq
meliputi dua hal, yaitu hadits maqbul dan hadits ghoer maqbul.
Hadits maqbul yang dapat diamalkan disebut hadits maqbul ma'mul bih.
Hadits maqbul ma'mul bih meliputi muhkam, mukhtalif, rajih,
dan nasikh.
Dianalisis dari
tathbiqnya, maka hadits tentang pelarangan berbangga-banggaan dengan bangunan
megah dan mewah masjid masuk kategori hadits muhkam. Sebab, hadits ini
tidak ada yang tanaqudl atai bertentangan dengan hadits yang sama
terkait hal yang sama. Pembolehan tentang hadits hanya yang berkaitan dengan
membersihkan dan memberi wangi-wangian masjid. Apa yang disebut hadits muhkam?
Muhkam secara bahasa berarti yang dikokohkan atau yang diteguhkan. Secara
istilah maka hadits muhkam adalah hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan
dengan hadits lain yang mempengaruhi kualitasnya. Tegasnya, disebut hadits muhkam
karena hadits ini dapat dijadikan sebagai hukum karena dapat diamalkan secara
pasti, tanpa tercampur dengan hal-hal yang samar dan meragukan.
3.
KANDUNGAN HADITS
a.
Makna Mufradat
Kata اشراط dalam bentuk fi’il madli yang mashdarnya شرطا maknanya adalah kejadian
pada urusan yang besar. Sedangkan dalam bentuk isimnya الشرط yang jamaknya اشراط yang bermakna tanda,
awal dari pada sesuatu. Kata اشراط dalam Alquran
dapat ditemukan satu kali yaitu pada surat Muhammad ayat 18 dan itupun
bergandengan dengan kata الساعة. Kata ini jika dilihat dari maknanya koheren ketika
digandengkan dengan kata الساعة yang memiliki makna waktu, sebab kata اشراط menunjukan pada awal mula terjadinya sesuatu
dari sebuah peristiwa yang kemudian disambut dengan kata الساعة yang aspek penggunaannya
menunjukan waktu sudah dekat. Jadi dua kata tersebut ketika digandengakan maka
maknanya menunjukan sebuah tanda bagi suatu peristiwa dalam waktu atau durasi yang
sudah dekat. [25]
Dalam riwayat al-Bukhari misalnya, kata اشراط dapat juga kita temui dalam kitab al Ilmu,
hanya disana objek yang menjadi tandanya berbeda dengan riwayat diatas. Dalam
riwayat alBukhori disebutkan bahwa yang menjadi tanda-tanda suidah dekatnya
hari qiamat adalah “diminumnya khomer, maraknya perjudian, nampaknya
perzinahan..”[26]
Kata الساعة yang bentuk jama’nya سياع و ساعات dan
bentuk tasghirnya سويعة memiliki beberapa makna; a). waktu yang menunjukan 60 menit,
b). waktu sekarang (yang sedang dihadapi), c). alat yang digunakan untuk
mengetahui waktu, seperti anak panah (diwaktu siang, dengan mengambil posisi
bayang-bayang anak panah tersebut dari sinar matahari), d). hari qiyamat atau
waktu terjadinya qiyamat. Seperti diungkap diatas kata ini jikadigunakan untuk
menunjukan hari qiyamat, maka lebih khusus akan menunjuk pada kedekatan waktu
pada prosesi qiyamat itu sendiri. Dalam Al-Quran sendiri kata ini digunakan
untuk menunjukan hal tersebut diatas seperti tercantum dalam QS. Muhammad ayat
18 dan al-Nazi’at ayat 42.
Sedangkan kata يتباهى adalah bentuk mudhari’ dari kata بهي بهاء
yang bermakna baik atau cantik. Masih terdapat pecahan kata lainnya yang
memiliki makna yang tidak sama pula seperti بهي artinya “bahiyun” ابهي
artinya baik/rupawan wajahnya, اتبهي به artinya berbangga diri, تباهوا artinya saling berbangga diri. Sedikit
sekali dalam hadits kita temukan kata ini.[27]
Sementara ditinjau dari aspek gramatikalnya, kata min asyrath al-sa’ah من أشراط bentuk plural dari
kata syarath yang berati tanda. Huruf min di sini adalah huruf jar yang
berfungsi sebagai li tab’idl, menunjukkan arti sebagian. Keduanya berari
tanda-tanda hari akhir (kiyamat). Secara gramatikal, jumalh kata ini
kedudukannya sebagai khabar muqaddam. Kata-kata ini lalu diartikan
dengan أَيْ عَلَامَات قُرْبهَا yaitu alamat atau tanda-tanda kedekatan akan datangnya hari
akhir.[28]
Sedangkan kata yatabaha(يتباهى) berarti saling bermegah-megahan
dalam bahasa lain dimaknai yatafakhara’. Kata ini sepadan dengan يَتَفَاخَر yang bermakna berbangga-banggaan atau jumawa yang dibarengi dengan
perasaan sombong. Kedudukannya sebagai mubatada’ mu’akkhar yang berfungsi li
al-ihtimam untuk perhatian, bukan
untuk li al-ikhtishash yang bermakna khusus. al-Nasu ( الناس ) manusia di sini adalah orang-orang muslim. Bi al-Masajid (في المساجد) bentuk jamak
taksir dari masjid yang menunjukkan arti plural. Artinya dengan masjid.
Menurut as-Suyuthi diilustrasikan dengan ungkapan فِي
بِنَائِهَا atau dalam
membangun masjid dalam bentuk bangunan.
b.
Syarah Hadits
Sebagaimana dikethaui bahwa secara etimologi kata-kata al-mubahah sepadan al-tasyyid wa al-tazyin
yang bermakna meninggikan dan mengokohkan sebuah bangunan serta
menghiasinya. Sementara secara terminologi yatabaha dalam hadits ini
adalah gambaran orang-orang Islam saling menghiasi masjid, duduk-duduk di
dalamnya, saling memamerkan (riya’) dan saling membanggakan (sum’ah)
yang pada gilirannya kemudian lupa akan dzikir dengan Allah SWT. Justru
sebaliknya, dengan masjid yang bermegah-megahan tersebut umat Islam
dikhawatirkan lalai.[29]
Sedanngkan maksud lain tentang “membanggakan” dalam dalam hadist ini adalah
bangga dengan aspek bangunan (fisik) dan aspek non-fisik.[30]
Sebab, tidak jarang dalam hati yang “membanggakan” tersebut muncul unsur seperti
riya’ dan sum’ah.
Dari beberapa pandangan ulama hadits terkait makna yatabaha
adalah adanya membanggakan baik dari aspek fisik yaitu aspek bangunan dengan
perhiasan: lukisan dan hiasan emas. Demikian halnya dengan aspek non-fisik
yaitu membanggakan dalam arti merasa megah dan banyak dari aspek jama’ahnya
maupun lainnya.
Dilihat dalam perspektif budaya, sejatinya tradisi yatabaha (bermegah-hmegahan
yang diringi dengan berbangga-banggaan) bukanlah budaya dan tradisi umat Islam.
Islam adalah agama yang menekankan keserhanaan dengan misinya sebagai agama
yang wasatha (moderat). Islam juga membenci sesuatu yang
berlebihan dan ektrem (ghuluw) dalam beribadah dan lainnya.
Tentunya kesederhanaan dan moderatisme ini berlaku dalam segala
ranah kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi masjid sebagi pusat
peradaban yang dibangun pada zaman nabi tidak mengalami perubahan walaupun
sebenarnya khalifah Islam pada waktu itu
mempunyai kemampuan finansial untuk melakukannya sampai pada zaman Khalifah
Usman memperindah masjid tersebut tetapi tidak sampai pada zukhruf.
Melainkan budaya dari agama Yahudi dan Nasrani di mana mereka sangat erat
dengan budaya memegahkan dan menghias bangunan tempat ibadah mereka. Dengan
demikian, sebagai ciri pembeda antara muslim dan agama lain kemudian memberikan
“warning” agar tidak melakukan hal yang sama dengan perilaku Yahudi dan
Nasrani.[31]
Sebagaimana diketahui, bahwa di antara ibadah yang sangat mulia dan
agung kepada Allah SWT adalah
memakmurkan masjid Allah. Memakmurkan masjid dengan cara mengisinya dengan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya SAW. Bentuk memakmurkan masjid bisa
pemakmuran secara lahir maupun batin. Secara batin, yaitu memakmurkan masjid
dengan shalat jama’ah, membaca dan memahami Al-quran, berdzikir, majlis ta’lim yakni belajar dan mengajarkan ilmu-ilmu agama, kajian-kajian keilmuan
dan berbagai ibadah lainnya yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Sementara memakmurkan masjid secara lahiriah, adalah menjaga fisik
dan bangunan masjid, sehingga terhindar dari kotoran dan gangguan lainnya.
Sebagaimana diceritakan oleh Aisyah bahwa baginda Rasulullah SAW pernah memerintahkan manusia untuk
mendirikan bangunan masjid di perkampungan, kemudian memerintahkan untuk
dibersihkan dan diberi wangi-wangian.[32]
Apabila
dicermati lebih dalam, hadits ini sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk
selalu memakmurkan masjid sebagai tempat ibadah dan tempat aktivitas keilmuan.
Menurut M.Hashbi Ashidieqi, bahwasanya hadits ini adalah dalil yang dipakai
oleh ulama islam awal untuk mengharamkan pembangunan masjid dengan
bermegah-megahan, dan adapun dengan diamnya para ulama Islam pada waktu itu
terhadap tindakan pembangunan masjid dengan bermegah-megahan, terutama pada
waktu renovasi masjid Nabawi adalah dikarenakan, semata-mata mereka takut
terhadap ancaman oleh pemerintah yang
berkuasa pada saat itu.
Namun
Menurut hemat penulis, hadits di atas tidaklah sampai mengindikasikan terhadap
haramnya pembangunan masjid dengan besar dan megah. Hadits di atas adalah
sebagai anjuran bagi kita untuk menggunakan skala prioritas dalam hal
pembangunan masjid. Sesungguhnya masjid adalah tempat beribadah dan menuntut
ilmu, seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah dan zaman awal Islam dahulu,
walaupun bangunan masjid pada dahulu kala sangatlah sederhana, namun aktivitas
di dalamnya sangatlah padat, dari mulai shalat berjamaah dampai dengan ajang
untuk aktivitas ibadah dan transformasi ilmu.
Pendek kata,
dapat dikatakan apa manfaatnya apabila masjid yang megah namun tidak ada orang
yang beraktivits di dalamnya. Lihatlah masjid-masjid yang ada disekitar kita,
sudahkah kita meramaikannya. Masjid yang megah bukanlah sesuatu yang menjadi
simbol kemakmuran penduduknya, namun masjid yang sarat dengan nuansa religius
adalah masjid yang dapat menjadi oase di padang tandus kehidupan bermasyarakat
yang penuh dengan polusi modernisasi.
c.
Munasabah dan Asbab al-Wurud
Tidak semua hadits mempunyai atau memiliki sebab-sebab khusus yang
melatarbelakanginya. Termasuk hadits bermegah-megahan dengan masjid dengan
membanggakannya juga tidak terdapat sebab khusus yang melatarbelakanginya
hadits ini muncul. Namun demikian, dengan kajian tematik terkait
bermegah-megahan dengan masjid, Nabi ingin mengukuhkan bahwa kehadiran Islam
merupakan agama penengah antara Yahudi dan Nasrani. Inilah agama wasatha
yang merupakan karakter utama Islam. Jelas, perilaku sombong, berhias,
bermegah-megahan dengan bangunan, termasuk tempat ibadah merupakan ciri khas
umat Nasrani dan Yahudi.
Terkait sebab-sebab lahirnya hadits pelarangan bermegah-megahan
dengan masjid terdapat sebuah kisah yang dilukiskan dalam Kitab Nail
al-Authar dijelaskan :
وروى في شرح السنة بسنده عن أبي قلابة قال : غدونا مع أنس بن مالك
إلى الزاوية فحضرت صلاة الصبح فمررنا بمسجد فقال أنس : أي مسجد هذا قالوا : مسجد
أحدث الآن فقال أنس : ( إن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم قال : سيأتي على
الناس زمان يتباهون في المساجد ثم لا يعمرونها إلا قليلا ) [[33]
Bahwa pada suatu pagi menjelang subuh, para sahabat berjalan dengan
Ana Ibn Malik menuju sudut desa untuk menunaikan shalat shubuh dan di tengah
jalan kita melewati sebuah masjid, maka Anas berkata: masjid apa ini? Para
sahabat berkata: ini masjid yang paling baru sekarang. Sontak Anas menjawab
dengan ungkapan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “akan datang sebuah masa
di mana manusia berbangga-bangga an dengan masjid namun mereka tidak
memakmurkannya, kecuali sedikit di antara mereka”. Hadits ini tampak mempunyai
korelasi kuat dengan ucapan sebab-sebab turunnya hadits ini.
Ditelusuri lebih dalam, sejatinya Allah SWT menciptakan manusia di
bumi sebagai khalifah hanyalah untuk beribadah (liya’buduni). Secara
tipologis, ibadah dibagi menjadi dua; ibadah yang bersifat mahdlah dan ghairu mahdlah. Kendati semua ulama
sepakat bahwa segala aktivitas yang berkaitan dengan niat yang baik dan ikhlas
adalah ibadah. Dalam hal melaksanakan ibadah, Islam mensyaratkan tempat yang
bernama masjid. Masjid dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam memainkan
peran vital yang tak bisa dinafikan. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat
beribadah kepada Allah, melainkan sebagai pusat transformasi keilmuan dan basis
penyebaran agama Islam (dakwah). Tidak mengherankan jika pada dalam setiap
aktivitas Rasul, masjid menjadi pusat perdaban yang tak bisa dipungkiri. Ini
dibuktikan dengan Nabi ketika hijrah ke Madinah yang pertama kali dibangun
adalah masjid, bukan yang lainnya. Masjid baik pada era pertumbuhan awal Islam
dan proses penyebaran dakwah Islam memainkan peran penting. Pendek kata,
keberadaan masjid dalam Islam diakui merupakan entitas yang urgen dan penting.
Hadits tentang pelarangan berbangga-banggaan dengan kemewahan bangunan
dan hiasan masjid merupakan hadits yang mempunyai korelasi kuat dan kesesuaian
dengan perintah memakmurkan masjid. Islam tidak menyukai, apabila masjid
dibangun dengan megah, namun sepi dan kosong dari aktivitas ibadah. Masjid
hanya dijadikan sebagai hiasan dan tempat wisata yang jauh dari ketaatan kepada
Allah. Masjid hanya berfungsi sebagai tempat ziarah yang tak berfungsi apapun
dan tak lebih dari sekedar hiasan. Maka dari itu memakmurkan masjid merupakan
ibadah yang dijamin kemuliaan dan pahala serta balasan yang besar di sisi
Allah. Sebagaimana firman Allah: dalam QS al-Taubah Ayat 18 tentang Para
Pemakmur Masjid sebagai berikut:
إِنَّمَا
يَعۡمُرُ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ
وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ
فَعَسَىٰٓ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ
Artinya: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan
zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka
mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-Taubah: 18)
Dari ayat ini kita paham bahwa betapa besar dan mulia orang yang
memakmurkan masjid di mata Allah SWT. Tidak mengherankan jika dalam hadits lain
Allah SWT mempersaksikan keimanan para pemakmur masjid, sebagaimana Imam Ahmad
meriwayatkan dari Abi Said Al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika
kamu melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka persaksikanlah dia dengan
keimanan.” (HR. Ahmad).
Hadits senada diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Mawardi, dan
al-Hakim di dalam Mustadraknya. al-Hafid Abu Bakar al-Bazar meriwayatkan dari
Tsabit bin Anas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
para pemakmur masjid itu hanyalah ahli Allah.” (HR. Tirmidzi)
Namun sebaliknya, Allah dan rasul-Nya sangat tidak menyukai apabila
masjid dibangun bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Artinya, masjid yang
dibangun dengan biaya yang tinggi, apalagi diperoleh dengan uang rakyat dan hasil
pajak, namun masjid hanyalah berfungsi sebagai taman hiasan, tempat wisata dan
sepi dari jama’ah shalat, kosong dari kajian ilmiah dan yang lainnya. hal ini
lah yang paling tidak disukai oleh Islam. Hadits larangan bermegah-megahan
dengan masjid berkorelasi kuat dengan hadits lainnya:
وَعَنْ
اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - - مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ اَلْمَسَاجِدِ - أَخْرَجَهُ أَبُو
دَاوُدَ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ.
Artinya: “dari Ibn Abbas RA berkata: telah bersabda
Rasulullah SAW: tidak saya diperintah untuk memperkokoh masjid” (HR Abu Dawud
dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Ketika menafsiri hadits ini, para ulama selalu merujuk pada perilaku yang
ketika membangun masjid ibarat membentuk seperti ‘ary-nya Musa. Para sahabat
kemudian bertanya, apa itu ‘arsy Musa? Nabi
menjawab: yakni ketika saya mengangkat tangan saya telah sampai yaitu atap masjid.[34] Artinya bahwa dalam membangun masjid, Nabi
mengedepankan keserdahanaan, kebersihan namun sangat tidak menyukai dengan
kemegahan dan ketinggian yang sepi dari jama’ah dan aktivitas keagamaan
lainnya. Hadits akan pelarangan bermegah-megahan dengan masjid, juga berkaitan
erat dengan sabda Nabi yang berbunyi:
Artinya: “Dan lafadz Ibnu Huzaimah RA: akan datang
sebuah masa di mana manusia saling berbangga-banggan dengan masjid namun tidak
memakmurkannya, kecuali sedikit di antara mereka.
Berkaitan
dengan hadis di atas dan untuk menguatkannya, Ibnu Abbas ra berkata, “ Sungguh,
umat ini akan menghiasi masjid masjid sebagaimana orang orang Yahudi dan
Nasrani menghiasi tempat tempat ibadah dan gereja gereja mereka. Orang yang
memerhatikan –masa sekarang- seluruh penjuru dunia Islam dan alat alat
transportasi, akan melihat mereka berbangga bangga
seperti ini, menghiasi masjid, dan sombong dalam mendirikan masjid. Manusia
membaca hadis ini dan mengetahuinya bahwa menghiasi masjid termasuk salah satu
tanda kiamat. Namun, mereka tetap melakukannya, seolah olah mereka digiring
untuk melaksanakan ketaatan dan pembenaran terhadap hadis Rasulullah SAW.
Ibnu ‘Abbas
menambahkan, dalam kitab Jami’ al-Shaghir karya Jaluddin al-Suyuthi, disebutkan
dan dijelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mempercantik masjid
masjid kalian dan menghiasi mushaf mushaf kalian, kehancuranlah atas kalian.” Mengapa?
Hal ini disebabkan Allah SWT melihat orang-orang yang memakmurkan Masjid dengan
hati dan iman mereka. Allah SWT menghendaki para hamba-Nya berhias dengan iman
dan mempercantik diri dengan takwa. Sebab, apabila masjid masjid telah dihiasi,
yang tersisa hanyalah dinding-dinding dan perhiasannya. Padahal, semua itu akan
musnah ketika terjadi kiamat nanti, sedangkan hati dan iman akan kekal dan
langgeng.
2.
Istinbath al-Ahkam dan Hikmah
Manusia dituntut untuk beribadah semata-mata ikhlas karena Allah
dan hanya mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw. Dengan segala potensi baik
buruknya manusia telah diwanti-wanti supaya tetap berpegang teguh kepada dua sumber hidup yaitu Alquran dan Sunnah. Segala problematika kehidupan telah
ada jawabannya dalam kedua sumber tersebut. Baik probelam akidah, ibadah maupun
mu’amalah. Manusia tugasnya tinggal menggali dalam kedua sumber tersebut.
Jika ditelisik lebih dalam, kandungan hadits tentang
bermegah-megahan dengan masjid, hadits ini sarat dengan membangun masjid secara
fisik. Jika berbicara membangun fisik, di dalamnya mencakup unsur-unsur
meninggikan, mengokohkan dan menghias dan lain-lainnya. Oleh para ahli fiqh,
hadits ini dimasukkan dalam bab naqsy al-masajid. Dalam kitab Subul
al-Salam diuraikan terkait pandangan ulama tentang bermegah-megahan dengan
masjid :
اخْتَلَفَ
الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ نَقْشِ الْمَسْجِدِ : فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ
وَهُمُ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ - كَرَاهِيَتَهُ ،
لِحَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَال : لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي
الْمَسَاجِدِ وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ جَوَازَهُ ، وَهُوَ رَأْيٌ
عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ لاِبْنِ وَهْبٍ وَابْنِ نَافِعٍ ، وَبَعْضِ
الشَّافِعِيَّةِ إِذَا كَانَ بِالشَّيْءِ الْخَفِيفِ .وَاحْتَجُّوا بِمَا رُوِيَ مِنْ أَنَّ عُثْمَانَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ زَادَ فِي الْمَسْجِدِ ( النَّبَوِيِّ ) زِيَادَةً
كَثِيرَةً ، وَبَنَى جِدَارَهُ بِالْحِجَارَةِ الْمَنْقُوشَةِ وَالْقَصَّةِ ،
وَجَعَل عَمَدَهُ مِنْ حِجَارَةٍ مَنْقُوشَةٍ ، وَسَقْفَهُ بِالسَّاجِ.[36]
Bersadasarkan
kutipan tersebut dipahami bahwa para ulama berbeda pendapat tentang meninggikan
masjid. Golongan dari mayoritas fuqaha’ yang diwakili dari pengikut mazhab
Maliki, Syafi’i dan Hanbali hukumnya adalah makruh (tidak disukai oleh Allah
dan Rasul-Nya) dan tidak sampai pada derajat haram. Sementara golongan
Hanafiyyah membolehkan meninggikan bagunan masjid dengan berargumentasi pada
tindakan Khalifah ‘Utsman yang membangun masjid Nabawi dengan tiang-tiang dan
tembok yang kuat dan menjulang. Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam
dijelaskan:
الْحَدِيثُ مِنْ أَعْلَامِ النُّبُوَّةِ وَقَوْلُهُ : " لَا
تَقُومُ السَّاعَةُ " قَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ مِنْ أَشْرَاطِهَا ،
وَالتَّبَاهِي إمَّا بِالْقَوْلِ كَمَا عَرَفْت أَوْ بِالْفِعْلِ كَأَنْ يُبَالِغَ
كُلُّ وَاحِدٍ فِي تَزْيِينِ مَسْجِدِهِ وَرَفْعِ بِنَائِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
.وَفِيهِ دَلَالَةٌ مُفْهِمَةٌ بِكَرَاهَةِ ذَلِكَ وَأَنَّهُ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ
وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ تَشْيِيدَ الْمَسَاجِدِ وَلَا عِمَارَتَهَا إلَّا
بِالطَّاعَةِ
Bahwa hadits ini merupakan hadits futuristik yang bersifat informatif dan predikitif yang
mengajarkan kepada umatnya agar tidak sombong dan jumawa dengan tingginya,
megahnya bangunan masjid. Dilihat dari dalalah pemahaman hadits, bahwa hukumnya
adalah makruh (karahiyyah), sebab Allah tidak menyukai membangun masjid
dengan megah tanpa diiringi dengan pemakmuran masjid tersebut.
Terkait pembangunan masjid yang termaktub dalam hadits tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa bukanlah sebuah kesalahan dalam perbuatan membangun sebuah masjid,
melainkan motif (‘illat) yang melatarbelakangi adalah pembangunan masjid
itu sendiri. Dalam Islam, perbuatan yang bersifat mu’amalah pada dasarnya boleh-boleh
saja, terlebih dengan tujuan untuk memotivasi ibadah dan meningkatkannya, maka
akan naik derajatnya menjadi ibadah termasuk memfasilitasi orang beribadah dengan
nyaman kepada Allah swt. Karena dalam masalah memebangun masjid yang menjadi
tinjauan bukan hanya sekedar membangun masjid secara fisik, melainkan juga
secara maknawi yakni memakmurkan masjid dengan mendirikan dengan ibadah-ibadah
dan kajian keilmuan dan sebagainya. Selain itu, hadits ini bisa saja dalam
tekstual tersurat makna laranagan memiliki motivasi selain karena Allah, namun
secara umum dapat dipetik asumsi juga termasuk larangan pada setiap amal.
Dalam analisis penulis, ucapan Nabi SAW`di atas bukan bermaksud
untuk menakut-nakuti manusia atau bahkan membuat manusia menjadi hamba berpaham
fatalistis dengan ungkapan telah dekatnya atau tibanya hari akhir, melainkan
sebagai sebuah stimulus dan wanti-wanti agar manusia (muslim) sadar tentang
eksistensi, tujuan, orientasi dan yang paling penting pertanggungan jawab
mereka kelak di akhirat. Sungguh terdapat beberapa riwayat yang menyatakan
sudah dekatnya waktu qiyamat namun semuanya diarahkan kepada aspek energisitas
muslimin agar tetap beramal sesuai ilmu agama.
Tidak hanya satu tema rasul mengungkapkan tanda-tanda sudah
dekatnya hari kiamat, namun beragam varian. Semuanya disesuaikan berdasarkan
proporsi yang dianggap urgen dalam aspek keberlangsungan kemaslahatan hidup dan
kehidupan manusia. Seperti masalah ilmu (sebagai dasar dalam beramal),
perjudian dan minuman keras (simbol terhadap kesehatan, sosial dan ekonomi),
perzinahan (simbol marginalisasi dan penindasan perempuan) dan lain sebagainya.
d.
Musykilat dan Tafhim al-Hadits
Setiap masjid baik itu masjid jami, mushola, langgar atau surau adalah
milik Allah. Masjid adalah tempat
hamba-hambanya yang beriman ruku dan sujud, bermunajat dan berdzikir
kepada-Nya. Setiap orang yang beriman berhak mempergunakannya dimanapun dia
berada dan memang hanya orang-orang beriman sajalah yang memakmurkan
(meramaikan) masjid, sedangkan orang-orang musyrik mereka tidak pantas untuk
memasuki masjid-masjid Allah. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Bahwasannya
yang meramaikan (memakmurkan) masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan sholat,
menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah. Maka
merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang memperoleh
petunjuk”. (QS. At-Taubah : 18)
Jelas sudah bagi kita bahwa fungsi masjid adalah untuk
tempat beribadah kepada Allah, jadi tidak pantas jika kita melakukan kegiatan
duniawi di dalam masjid. Kegiatan duniawi yang hukumnya “mubah” saja dilarang
apalagi yang sifatnya tercela, seperti bercengkrama dengan kata-kata bathil,
membuat kegaduhan dan mengotori masjid, maka itu sangat dilarang bahkan
termasuk dosa. Oleh karena itu janganlah kita termasuk orang-orang sepeerti
itu. Jika ada orang yang berbuat demikian, ingatkanlah mereka. Seandainya
mereka tidak menghiraukan, jauhilah dan jangan bergabung dengan mereka karena
Allah tidak membutuhkan orang-orang seperti itu. Jika anda belum yakin denga
keterangan di atas silahkan renungkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi
wassalam :
“Akan datang
kepada manusia suatu zaman yang mana mereka suka duduk-duduk berkeliling dalam
masjid, tetapi tiada yang menjadi perhatian dan cita-cita mereka itu melainkan
keduniaan. Allah samasekali tidak memerlukan mereka. Oleh sebab itu janganlah
kamu semua ikut duduk-duduk bersama mereka ! “ (HR. Ibnu Hibban)
Yang termasuk dilarang oleh nabi Muhammad Shallallahu
‘alayhi wassalam adalah adanya patung dan gambar di dalam masjid walaupun
berupa ulama, wali ataupun orang-orang sholeh lainnya. Semua itu dilarang
melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Aisyah radiyallahu’anha bahwa Ummu Habibah dan Ummu Salamah
radiyallahu’anha menyebut dua gereja yang dilihat oleh keduanya di Habasyah
yang di dalamnya terdapat gambar-gambar. Keduanya kemudian menceritakan hal itu
kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wassalam, mendengar hal itu beliau
Shallallahu ‘alayhi wassalam bersabda :
“Sesunggunya
mereka, jika ada seorang tokoh shalih diantara mereka yang meninggal dunia,
mereka membangun masjid (rumah ibadah) di atas kuburannya serta membuat patung
orang itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari Kiamat”
(HR. Syaikhon)
Masjid merupakan rumah Allah dan merupakan tempat
terbaik di muka bumi ini. Salah satu cirri orang beriman adalah hatinya selalu
terkait terhadap masjid, memakmurkan masjid, memelihara kesucian, memberi
wewangian dan menjauhkannya dari hal-hal yang dibenci Allah merupakan perintah
Rasulullah SAW. Pertanyaannya Bagaimana adab dan sikap kita terhadap masjid ?
Membangun sebuah masjid sekecil apapun bangunannya
jelas suatu kebaikan di sisi Allah dan berhak mendapatkan pahala sesuai dengan
niat dan keikhlasan orang yang membangunnya. Dari Abu Dzar diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
Barang siapa yang membangun sebuah
masjid karena Allah, meskipun hanya seukuran kandang burung, maka Allah akan
membangun baginya sebuah rumah di Syurga” (HR. Al-Bazzar)
Mungkin karena alasan hadits inilah sebagian orang
berlomba-lomba membangun masjid, bahkan tak segan-segan jika mereka kekurangan
dana, mereka meminta-minta bantuan kepada kaum muslimin di jalan-jalan,
kendaraan, took-toko, pasar-pasar bahkan terminal. Niat mereka itu baik, hanya
caranya kurang baik. Meminta bantuan ke tempat-tempat seperti itu hanya akan
mencoreng umat islam sendiri. Perlu diingat oleh kita semua, kita tidak
diperintah untuk bermegah-megahan dalam membangun masjid, tetapi bangunlah
masjid sesuai dengan kemampuan dan keadaan masyarakat sekitarnya. Yang penting
kita harus memakmurkan dan merawat masjid tersebut.
Sungguh aneh zaman sekarang, kita melihat dimana-mana banyak sekali masjid
besar, tetapi jamaahnya sangat sedikit. Bahkan pada waktu shubuh jamaahnya bias
dihitung denga jari tangan. Sungguh kita hidup di zaman manusia yang senantiasa
membanggakan bangunan masjid, tetapi ketika diseru untuk memakmurkannya mereka
enggan dan berdalih dengan berbagai alasan, sungguh tepat apa yang dikatakan
Rasulullah SAW:
“Akan datang suatu zaman dimana
manusia saling berbangga dengan bangunan masjid, kemudian mereka tidak mau
memakmurkannya, kecuali sedikit dari mereka”. (HR. Abu Ya’la dan Ibnu
Khuzaimah)
Memang keadaan ini merupakan salah satu tanda kiamat
yang sudah merata dimasyarakat. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits marfu’
dari Anas radiyallahu’anhum:
“Tidak akan terjadi
hari kiamat hungga manusia saling berbangga dengan bangunan masjid mereka” (HR.
Ahmad, abu Daud, Nasa’I dan Ibnu Khuzaimah)
Kita perhatikan banyak sekali orang-orang yang
menghias masjid secara berlebih-lebihan yang tujuannya tiada lain hanyalah
untuk keindahan, pamer dan membanggakan diri, keluarga, kelompok dan kaumnya.
Sudah begini parahkah kerusakan amal-amal masyarakat kita ?.
Sebuah hadits marfu’ menggambarkan keadaan kita
sekarang ini. Disebutkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Aulia, “Jika
amal kebaikan suatu kaum telah rusak maka mulailah mereka menghias
masjid-masjid mereka”. Hadits ini bukan berarti masjid itu harus kumuh dan
bangunannya harus seperti bangunan masjid zaman dahulu. Bukan demikian
maksudnya, tetapi masjid boleh disesuaikan dengan keadaan bangunan masyarakat
sekitarnya dan boleh diperluas jika jamaahnya bertambah banyak. Yang perlu
diingat disini adalah janganlah kita menghias masjid kemudian saling
membanggakan. Kemudian melupakan kewajiban kita untuk memakmurkan masjid
tersebut. Jangan sampai kita termasuk kaum yang rusak amalnya, bersemangat
sekali membangun dan menghias masjid, tetapi enggan untuk beribadah di
dalamnya.
4.
PENUTUP
[1]Ibnu
Hajar al-‘Asqalany, Bulughul Maram fi Adillat al-Ahkam, Bab al-Masajid (Beirut:
Dar al-Ihya Al- Ulum, 1991), cet. ke-1, Juz , hal. 87.
[2] Rumus al-Suyuthiy: kha` (خ)
al-Bukhariy, mim (م) Muslim, qaf (ق)
keduanya (Bukhariy-Muslim), dal (د) Abi
Dawud, ta` (ت) al-Tirmidziy, nun (ن)
al-Nasa`iy, ha (ه) Ibn Majah, empat (٤) mereka berempat (Abu Dawud,
al-Tirmidziy, al-Nasa`iy dan Ibn Majah), tiga (٣)
mereka kecuali Ibn Majah, ha mim (حم)
Musnad Ahmad, ‘ayn mim (عم) ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawa`id,
kaf (ك) al-Hakim dalam al-Mustadrak, kha
dal (خد) al-Bukhariy dalam al-Adab, ta` kha`
(تخ) al-Bukhariy dalam Tarikh, ha` ba`
(حب) Ibn Hibban dalam Shahîh, tha` ba`
(طب) al-Thabraniy dalam al-Kabir, tha`
sin (طس) al-Thabraniy dalam al-Awsath, tha`
shad (طص) al-Thabraniy dalam al-Shaghîr,
shad (ص) Sa’id bin Manshur dalam Sunan,
syin (ش) Ibn Abi Syaybah, ‘ayn ba` (عب)
‘Abd al-Razzaq dalam al-Jâmi', ‘ayn (ع) Abi
Ya’la dalam Musnad, qaf tha` (قت) al-Daruquthniy, fa` ra` (فر)
al-Daylamiy dalam Musnad al-Firdaws, ha` lam (حل) Abi
Na’im dalam al-Hulyah, ha` ba (هب)
al-Bayhaqiy dalam Syu’b al-Iman, ha` qaf (هق)
al-Bayhaqiy dalam al-Sunan, ‘ayn dal (عد) Ibn
‘Adiy dalam al-Kamil, ‘ayn qaf (عق)
al-‘Aqiliy dalam al-Dhu’afâ`, kha` tha (خظ)
al-Khathib. Muhammad ‘Abd al-Ra`uf al-Munawiy, Faydh al-Qadir Syarh al-Jâmi'
al-Shaghîr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), Cet. Ke-2, Juz 1, h. 24-29.
[3] al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir
min Hadits al-Basyir al-Nadzir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiiyah, 1998)
cetk. III, Juz II, hal. 298.
[6]A,J.
Wensink, dkk., al-Mu`jam al-Mufahras Li alfadzi al-Hadits al-Nabawi,
(Leidan: Mathba`ah Beril, 1965), hlm. 472.
[7] Rumus Mu’jam: ta` (ت)
al-Tirmidziy, jim ha` (جه) Sunan Ibn Majah, ha` mim (حم)
Musnad Ahmad, kha` (خ) Shahîh al-Bukhariy, dal (د) Sunan
Abu Dawud, dal ya` (دي) Sunan al-Darimiy, tha` (ط)
Muwatha` Malik, mim (م) Shahîh Muslim, dan nun (ن)
Sunan al-Nasa`iy. A.J. Weinsinck (w. 1939), al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh
al-Hadîts, (Leiden: Briel, 1969), Juz 7, h. 2 dari Tanbihât wa Irsyâdât
Juz 2, h. 228
[8]CD Kutub
at-Tis`ah, yaitu sembilan kitab hadits (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim/shahihain, 1 musnad dan 6 kitab sunan).
[9] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan
Abud Daud, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.), Juz I, hal. 171.
[10] Ahmad Ibn Syu’aib Abu Abdi al-Rahman al-Nasa’i, al-Mujtaba
min al-Sunan li Sunan al-Nasa’i (Halab: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah,
1986) Cet. Ke-2, Juz II, hal. 32.
[11] Muhammad Ibn Yazid Abu Abdillah al-Quzawainy, Sunan
Ibn Majah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.) Juz I, hal. 244.
[12] Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Musnad
Ahmad Ibn Hanbal (Mesir: Mu’assasah Qurthubah, 2009) Cet. Ke-4, Juz III,
hal. 134.
[13] Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah al-Salma, Shahih
Ibn Khuzaimah (Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th.), Juz II, hal. 281.
[14] Muhammad Ibn Hibban Ibn Ahmad Abu Hatim al-Tamimi
al-Basti, Shahih Ibn Hibban Bitartib Ibn Bilban, (Beirut: Mua’sasah
al-Risalah, 1993) Juz IV, hal. 492.
[17] Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Thabarani, al-Mu’jam
al-Ausath, Penahqiq Thariqb In ‘Audlullah ibn Muhammad ibn Abd al-Muhsin
Ibrahim al-Husaini, (Kairo: Dar al-Haramain, 1415 H), Juz II, 222
[18] Ahmad ibn al-Husain Ali ibn Musa Abu Bakr al-Baihaqy, Sunan
al-Baihaqy al-Kubra tahqiq Muhammad Abd al-Qadir ‘Atha’ (Makkah: Maktabah
Dar al-Baz, 1414/1994), Juz II, hal. 439.
[19] Mahmud Tohhan, Taisir
Musthalah al-Hadits (Kuweit: Maktabah al-Ma’aarif li al-Nasyr wa Tauzi’,
1999) hal. 98.
[20] Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu
Ushul al-Fiqh (Makkah: Dar al-Haramain al-Syarifain, 2001), hal. 13-14.
[21] Jamaluddin Muhammad al-Sayid, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wa
Juhuduhu fi Khidmati al-Sunnah al-Nababawiyyah Wa ‘Ulumiha, (Madinah:
Umdatul ‘Ilmi bi al-Jami’ah, 2004) Juz I, hal. 355.
[25] Ma’luf. Lowis, al-Munjid Fi al Lughoh wa al- A’lam, (Lebanon :
1960), Dar al Masyrik, Cet ke-23.
[26] Ibnu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid al Qoznawi Ibnu Majah. Al Hafidz, Sunan
Ibnu Majah Huququ Nususihi Wa Roqqoma Kutubihi Wa Abwabihi Wa Ahaditsihi WA
‘Allaqo ‘Alaihi Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, (Semarang : Toha Putra, t.th). hal.
13-16.
[28] Jalaluddin al-Suyuthi, Hasyiyah al-Suyuthi wa Sanadi ‘ala Sunan
al-Nasa’i (Riyadh: Maktabah al-‘Utsaimin, t.th.) , hal. 479.
[30] Al-Adzimadadi, Aunul Ma’bud, Juz II, hal. 84
[31] Ibid.,
hal. 86
[32]
Lihat
Shahih Ibnu Hibban dengan penjelasan oleh Syuaib al-Arnauth mengatakan sanad
hadits tersebut shahih sesuai syarat Bukhari.
[33] Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nailu al-Athar Min Ahadits
Sayyidi al-Akhyar Syarh Muttaqiy al-Akhbar (Kuweit: Idarah al-Thiba’ah
al-Muniriyyah, t.th.) Juz II, hal. 158.
[34] al-Faqih Zainuddin Abul al-Farj Abdirrahman Ibn Syihabuddin al-Baghdadi
yang terkenal dengan Ibnu Rajab al-Hanbali, Syarh Khmasina Haditsan min Jami’
al-Kalam, (Riyadh: Dar al-Nasyr wa Dakwah wa al-Irsyad, t.th) Juz 4, hal. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar